MENINGGALKAN SUNNAH BUKAN BERARTI BID'AH
Tidak
semua yang dilarang Rosulullah itu disimpulkan oleh para ‘Ulama sebagai
hal yang haram. Saya tidak tahu bagaiman proses penggalian hadits ini
sehingga menjadi keputusan hukum makruh saja bahkan ada yang memubahkan
segala. Inilah Bukti bahwa meninggalkan sunnah bukan berarti bid'ah
Padahal,
konon dibalik sorban merahnya ada sebuah statemen Lawan Sunnah adalah
Bid’ah dan lawan Bid’ah adalah Sunnah. Atau bahasa loyalnya jika kita
melakukan sunnah itu sama dengan meninggalkan bid’ah, dan jika kita
meninggalkan sunnah berarti telah melakukan bid’ah atau telah menjadi ahlul bid'ah. Apalagi jika perbuatan itu telah jelas jelas dilarang ?
Sebelumnya
saya kutipkan terlebih dahulu apa yang ditulis oleh Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas dalam bukunya As-Sunnah Dlam Syariat Islam oleh Yazid
Abdul Qadir Jawas, hal 28-31, terbitan Pustaka Al-Kautsar sebagi
berikut:
Sunnah dengan makna apa-apa yang disyari’atkan oleh Rasul-Nya adalah lawan dari bid'ah,
yakni apa-apa yang baru yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Mafhum Ahlis Sunnah, hal 32, 35).
Bid’ah
menurut syari’at ialah apa-apa yang diadakan oleh manusia baik perkataan
maupun perbuatan di dalam agama dan syiar-syiarnya tidak ada keterangan
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,
yang mana maksud mengerjakannya adalah untuk ta’abbud.
Sementara Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua macam, yakni :
Ibadah
Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh
Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara
khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah
dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid(pembatas) jumlah,
waktu, tempat maupun sifatnya. Contohnya adalah, mengucapkan salam,
Rasulullah r bersabda, افشواالسلامبينكم “Tebarkan salam di antara
kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau r akan
batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan,
waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil
(terperinci) oleh Rasulullah r. Contohnya adalah sholat, di mana banyak
hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya,
dan tempatnya.
Kesimpulan dari penjelasan bid'ah & sunnah
dua Ustadz diatas adalah bahwa setiap yang menyelisihi Sunnah adalah
Bid’ah, namun tahukah kalian, dalam hal yang nyata nyata pelarangan itu
ada dalam Hadits sahih dan didukung dengan hadits hadits yang lain, para
Ulama berbeda dalam menyikapinya.
Akan saya hadirkan beberapa Hadits yang terkait pelarangan Nabi dalam meniup makanan atau minuman, sebagai berikut:
وعن أبي قتادة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { إذا شرب أحدكم فلا يتنفس في الإناء } متفق عليه
“Dari
Abi Qotadah berkata, Bersabda Rosulullah صلى الله عليه وسلم : Ketika
salah satu kalian minum, janganlah menghembuskan nafas didalam wadah” (Hadits Muttafaq ‘alaih)
وعن
أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه وسلم { نهى عن النفخ في الشراب ، فقال
رجل : القذاة أراها في الإناء ؟ فقال : أرقها ، فقال : إني لا أروى من نفس
واحد ؟ قال : فأبن القدح إذا عن فيك } رواه أحمد والترمذي وصححه
“Dari
Abi Sa,id, sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم {Melarang meniupkan
nafas dalam minuman, maka berkata seorang Sahabat: Saya melihat kotoran
mata dalam air, maka bersabda Rosulullah: alirkan airanya, maka Sahabat
itu berkata: Sesungguhnya saya ini belum merasa puas minum dari sekali
nafas, Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Kalau begitu singkirkanlah dulu
wadahnya itu dari mulutmu “ (HR. Ahmad, Turmudzi dan mensahihkannya)
وعن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يتنفس في الإناء أو ينفخ فيه. رواه الترمذي وصححه ألألبني
“Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melarang bernafas di dalam bejana atau melarang untuk meniup padanya.”{Shahih Sunan At-Tirmidzi no.1539 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani}
Lihatlah, hadits terakhir ini adalah kesimpulan yang dibuat oleh sahabat nabi, dan membuat laporannya dengan menggunakan kalimat “Nabi Melarang”.
Konskwensi
dari Pelarangan itu jika ditinggalkan atau dengan sengaja melakukan
perbuatan yang menyelisihinya adalah dapat menjadikan pelakunya sebagai
orang yang MELAWAN perintah. Pelanggaran Hukum ini bukan main main,
karena secara tegas telah ada pelarangannya. Dan jika jatuh ditangan
Hakim yang tegas, oku dikenakan pasal Melawan Sunnah Rosul dan akan
menyeret pelakunya sebagai pesakitan Pelaku Bid’ah. Karena sebagaiman
yang disebutkan diatas, lawan sunnah adalah bid’ah.
Yang
menjadi pertanyaan besar adalah kenapa para ‘Ulama kebanyakan hanya
menghukumi meniup makanan itu hanya sebatas makruh saja? Termasuk yang
menghukumi makrus itu adalah Syaikh ‘Utsaimin. Jadi akan saya buktikan bahwa Meninggalkan Sunnah tidak berarti Bid’ah, simak berikut:
أن
نهيه عليه الصلاة والسلام عن النفخ في الطعام والشراب ليس على سبيل أن ما
تطاير فيه من اللعاب نجس وإنما هو خشية أن يتقذرة الآكل منه فأمر بالتأدب ( عمدة القاري شرح صحيح البخاري ج 4 – الصفحة 387 المؤلف : بدر الدين العيني الحنفي)
Sesungguhnya
larangan nabi alaihis salam meniup makanan dan minuman bukan berarti
menunjukkan semburan yang keluar dari air ludah itu najis tapi
dikhawatirkan berakibat jijiknya orang yang makan, maka diperintahkan
beretika didalamnya.
Satu bukti meninggalkan Sunnah tidak berarti Bid’ah, terserah jika anda kan mengasumsikan sebagai bid’ah makruhah saja.
Padahal
Makruh adalah jika perbuatan itu dilakukan tidak berpahala dan jika
ditinggalkan mendapat pahala. Bagaimana mungkin dalam kasus meniup
makanan ini yang jelas jelas meninggalkannya adalah Sunnah (sesuai
hadits diatas) jika dilakukan hanya mendapat hukum makruh saja? Bukankah
lawan sunnah adalah bid’ah? Dan bid’ah tempatnya diNERAKA.
Dan
jika ditelusuri lagi, akan tambah bingung dan mbundet. Apakah urusan
makan dan minum ini masuk urusan agama apa urusan dunia? Jika masuk
dalam urusan agama, haruslah dilakukan sesuai contoh Nabi, dan yang
tidak mengikuti contoh dari Nabi sama dengan melakukan bid’ah, tapi
kenapa Cuma ada okum sunnah dan makruh saja dari ‘Ulama?
Jika hanya urusan Dunia saja, sesuai kaedah antum a’lamu bidunyakum, kenapa Nabi menyematkan larangan dan perintah didalamnya?
Sekarang mari kita simak penjelasan para ulama' , dan kita memulai dari dalam Kitab Nailul Author berikut ini agar semakin jelas meninggalkan Sunnah tidak berarti Bid’ah, bahkan melanggar larangan bukanlah haram:
قوله
: ( فلا يتنفس في الإناء ) النهي عن التنفس في الذي يشرب منه لئلا يخرج من
الفم بزاق يستقذره من شرب بعده منه أو تحصل فيه رائحة كريهة تتعلق بالماء
أو بالإناء ، وعلى هذا فإذا لم يتنفس في الإناء فليشرب في نفس واحد ، قاله
عمر بن عبد العزيز ، وأجازه جماعة منهم ابن المسيب وعطاء بن أبي رباح ومالك
بن أنس ، وكره ذلك جماعة منهم ابن عباس ، ورواية عكرمة وطاووس وقالوا : ”
هو شرب الشيطان “ [ نيل الأوطارص: 221 ]
Perkataan:
(Maka janganlah bernafas dalam wadah) Pelarangan bernafas didalam wadah
buat minum adalah agar air ludah tidak keluar dari mulut yang dapat
menjijikkan orang yang meminum sesudahnya, atau dapat menimbulkan bau
yang menyengat yang berhubungan dengan air atau wadahnya, dan atas dasar
inilah tidak boleh bernafas dalam wadah dalam satu tarikan nafas,
demikian ini adalah penjelasan Umar bin Abdul Aziz, dan segolongan Ulama
membolehkannya (bernafas dalam wadah), diantaranya adalah Ibnu Abbas,
dan satu riwayat Ikrimah dan Thowus, dan mereka bilang: “Demikian itu
adalah minumnya setan” (Nailul Awtor hal 221)
قال
النبي صلى الله عليه وسلم : ( إذا شرب أحدكم فلا يتنفس في الإناء ) رواه
البخاري(149) ومسلم(3780) ، وفي هذا الحديث نهي للشارب أن يتنفس في الإناء
الذي يشرب منه ، سواء انفرد بالشرب من هذا الإناء ، أو شاركه فيه غيره ،
وهذا من مكارم الأخلاق التي علمها النبي صلى الله عليه وسلم لأمته ، لتترقى
في مدارج الكمال الإنساني
Nabi bersabda: (Ketika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah) HR. Al Bukhori no 149 dan Muslim no 3780.
Dalam
hadits ini Rosulullah melarang orang yang minum bernafas didalam wadah
yang dipakai buat minum, sama juga ketika minumnya itu sendiri dari
wadah tersebut atau ada teman lain yang meminumnya dari wadah tersebut,
dan ini termasuk dari mulianya ahlak yang Rosulullah mengajarkannya
kepada Ummatnya, agar meningkat dalam derajat Insan yang sempurna.
قال
الحافظ ابن حجر العسقلاني في فتح الباري : “وهذا النهي للتأدب لإرادة
المبالغة في النظافة ، إذ قد يخرج مع النَّفَس بصاق أو مخاط أو بخار ردئ
فيكسبه رائحة كريهة فيتقذر بها هو أو غيره من شربه” انتهى .
“Berkata
Al hafidl Ibnu hajar Al ‘Asqolani dalam Fathul bari: “Pelarangan ini
adalah untuk Himbauan dalam hal kebersihan, karena dengan bernafas akan
keluar air ludah atau ingus, atau uap yang jelek, maka akan dapat
membuat bau yang tidak enak dan menjijikkan dirinya sendiri atau orang
lain dari meminumnya” demikian keterangan dalam Fathul Bari.
Jika masih kurang bukti ilmiyyah meninggalkan Sunnah tidak berarti bid’ah, anda akan saya bawa pada penjelasan Ulama yang semakin membungkam anda, silahkan dilanjut bacanya:
Adapun
penjelasan salah satu dari Ulama Madzhab Hanbali Syaikh Muflih Al
Hambali dalam kitabnya “Al Adabu Al Syar,iyyah menjelaskan sebagi
berikut:
وهذا
النهي عن الأمرين للكراهة ، فمن فعلهما أو أحدهما لا يأثم إلا أنه قد فاته
أجر امتثال هذه التوجيهات النبوية، كما فاته أيضاً التأدب بهذا الأدب
الرفيع الذي تحبه وترضاه النفوس الكاملة )3/167)
“Pelarangan
dua perkara ini adalah pelarangan makruh saja, sesiapa yang melakukan
keduanya atau salah satunya tidak berdosa, kecuali memang ia telah
kehilangan pahala mencontoh arahan kenabian, seperti juga ia telah
kehilangan beradab mulia yang disulai oleh dan diridloi oleh jiwa yang
sempurna” (Al Adabu Al Syari’ah 3/167)
Satu lagi Ulama Hambali yang membolehkan meniup makanan atau minuman ketika ada hajat, dan ini semakin memperjelaskan bukti kebenaran meninggalkan sunnah tidak berarti telah melakukan bid’ah yaitu Al Allmah Al Mardawi dalam kitab Al Inshofnya 8/328 sebagi berikut nasnya:
وإذا
كانت هناك حاجة تدعو إلى النفخ في الطعام أو الشراب لتبريده ، وكان يحتاج
إلى أن يأكل أو يشرب ويشق عليه أن ينتظره ليبرد ، فإن الكراهة تزول حينئذ
كما صرح بذلك بعض أهل العلم “الإنصاف” (8/328)
Yang unik dari sekian Ulama adalah Al Amidi, beliau tidak memakruhkan meniup makanan yang panas, demikian nasnya:
لا يكره النفخ في الطعام إذا كان حاراً
Dalam Syarahnya terhadap kitab Riyadhusshalihin, Syaikh Sholeh Al-‘Utsaimin juga membuktikan adanya meninggalkan sunnah tidak berarti telah melakukan bid’ah, beliau berkata:
”
إلا أن بعض العلماء استثنى من ذلك ما دعت إليه الحاجة ، كما لو كان الشراب
حاراً ويحتاج إلى السرعة ، فرخص في هذا بعض العلماء، ولكن الأولى أن لا
ينفخ حتى لو كان حاراً؛ إذا كان حاراً وعنده إناء آخر فإنه يصبه في الإناء
ثم يعيده ثانية حتى يبرد”
“akan
tetapi sebagian ‘Ulama mengecualikan larangan itu jika sangat
dibutuhkan, seperti seseorang yang perlu makanan tersebut dalam waktu
cepat maka para ulama memberika rukhshah/keringanan, tetapi yang utama
adalah tidak meniupnya walaupun makanan/minuman itu panas.apabila
makanan/minuman itu panas sedangkan ia memiliki bejana/wadah yang lain,
maka hendaknya ia memindahkannya kewadah yang lain kemudian
mengembalikannya lagi dan begitu seterusnya sampai makanan/minuman itu
menjadi dingin.”
Berbeda Al Utsaimin, berbeda pula pendapat Al Munawi dalam Fidlul Qodirnya, dan ini semakin jelas lagi, dan lagi lagi jelas sekali bahwa meninggalkan sunnah tidak berarti melakukan bid’ah, sebagai berikut penjelasannya:
“والنفخ في الطعام الحار يدل على العجلة الدالة على الشَّرَه وعدم الصبر وقلة المروءة” “فيض القدير “(6/346) .
“Meniup
dalam makanan yang panas adalah menunjukkan ketergesaan, dan
ketergesaan menunjukkan keburukan dan tidak adanya kesabaran dan
sedikitnya harga diri” Faidlul Qodir 3446/6.
Demikian
ini adalah salah satu dari wacana saja, agar kita tidak tergesa gesa
menghukumi amalan seseorang dengan serampangan, ingatlah di dunia Islam
ini ada jutaan Ulama yang masing masing memiliki karakter tersendiri
dalam menyikapi sebuah hadits seperti contoh diatas. dan penjelasan
diatas sebagi cukup bukti bahwa meninggalkan sunnah tidak berarti telah mengamalkan bid’ah.
Akankah setelah membaca beberpa pendapat
‘Ulama terkait Hal yang nyata nyata telah dilarang Oleh Rosulullah
secara tekstual dalam beberap hadits tersebut diatas masih saja teguh
memegang ego bahwa setiap yang dilarang Rosulullah adalah sunnah yang
harus dikerjakan sesuai contohnya, dan yang meninggalkannya adalah sama
dengan melakukan bid’ah? Saya kembalikan ke kepala masing masing,
demikianlah luasnya Ilmu dalam Islam. Wallahu a’lam.......
udah gag bocor lagi yeeeee nich blog :p
ReplyDelete