Wednesday 31 July 2013

Silaturrohim Saat Hari Raya Idul Fithri & Ziarah Kubur Setelah Sholat Id

هل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً،
لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟
Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:

Alhamdulillah Was Sholaatu Was Salaamu ‘ala Rosulillah Wa ‘ala Alihi Wa Shohbihi, Amma ba’du:
Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:
التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد،
فقد روي عن عائشة رضي الله عنها قالت:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع
على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.،
وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.،
قال في الفتح:
قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر”
وكأنه جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى
.
“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id) adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkan masyru’-nya hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, beliau berkata: ‘Nabi Shollallohu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits.
Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah (anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shollallohu’alaihi Wasallam masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]
ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.
والله أعلم.
Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu yang terlarang‘
هذا عمل طيب؛والأقارب أولى من يجب وصلهم لأنهم ذوي قرابة فهم أولى من غيرهم تبدأ بهم ثم بعد ذلك بغيرهم وهذا هو المطلوب أن يبدأ الإنسان بذوي قرابته لأنهم آكدوا حقا عليه من غيرهم فحينئذ يبرهم ثم بعد ذلك إن وجد وقتا زار إخوانه وإن حصل ذلك فرحنا

Ini perbuatan yang baik. Para kerabat adalah orang-orang yang paling wajib untuk dijalin tali silaturahimnya. Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki qurabah (hubungan keluarga), sehingga mereka lebih layak dari yang lain untuk dijalin erat silaturahminya. Mulailah dari mereka, baru yang lain, inilah yang semestinya. Sebab lain, mereka juga memiliki hak yang lebih besar dari diri anda, dibandingkan yang lain. Maka, berbuat-baiklah kepada mereka, lalu jika ada waktu, kunjungilah mereka. Kalau memang bisa demikian, itu akan membuat kita gembira
لكن أصبح من العادات وهنا العادات ليست منافية للشرع ولم يزعموا أنها عبادة وذلك لأنه يوم فرح وسرور فلا بأس بذلك كله والله أعلم وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان

Perbuatan ini memang sudah menjadi tradisi, namun ini adalah tradisi yang tidak dinafikan oleh syari’at dan orang-orang yang melakukannya pun tidak menganggap ini sebagai ibadah. Perbuatan ini sebatas karena hari ‘Id adalah hari bergembira dan bersenang-senang. Maka perbuatan-perbuatan demikian itu semua tidak mengapa, walloohu’alam. Wa sollallohu wa sallama wa baarik ‘ala ‘abdihi wa rosulihi nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash-habihi wa atba’ihi bi ihsaanin pentingnya menjaga silaturrohim di tegaskan dalam surat annisa 1
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Dan bertaqwalah kepada Alloh yang dengan mempergunakan nama-namaNya, kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An Nisa: 1)
“Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim )

Dari Abdulloh bin Abi Aufa ra. berkata, ketika sore hari pada hari Arofah, pada waktu kami duduk mengelilingi Rosululloh saw, tiba-tiba beliau bersabda,
“Jika di majelis ini ada orang yang memutuskan silaturahmi, silahkan berdiri, jangan duduk bersama kami.” Dan ketika itu, diantara yang hadir hanya ada satu yang berdiri, dan itupun duduk di kejauhan. Kemudian lelaki itu pergi dalam waktu yang tidak lama, setelah itu ia pun datang dan duduk kembali.Kemudian, Rosululloh saw pun bertanya kepadanya,“Karena diantara yang hadir hanya kamu yang berdiri, dan kemudian kamu datang dan duduk kembali, apa sesungguhnya yang terjadi? Ia kemudian berkata, “Begitu mendengar sabda Engkau, saya segera menemui bibi saya yang telah memutuskan silaturahmi dengan saya. Karena kedatangan saya tersebut, ia berkata, “Untuk apa kamu datang, tidak seperti biasanya kamu datang kemari.” Lalu saya menyampaikan apa yang telah Engkau sabdakan. Kemudian ia memintakan ampunan untuk saya, dan saya meminta ampunan untuknya (setelah kami berdamai, lalu saya datang lagi ke sini).Maka Rosululloh saw pun bersabda kepadanya, “Kamu telah melakukan perbuatan yang baik, duduklah, rahmat Alloh tidak akan turun ke atas suatu kaum jika di dalamnya ada orang yang memutuskan silaturahmi.”
Apa yang telah terjadi dalam riwayat tersebut di atas tentunya sangat sesuai sekali dengan firman Alloh swt berikut:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ“
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Alloh supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al Hujuraat: 10)

Mempererat persaudaraan Islam juga merupakan salah satu bentuk penegakan power Islam dalam kehidupan sehari-hari. Karena umat Islam yang satu dengan yang lain itu ibarat sebuah bangunan yang saling melengkapi dan saling menguatkan.
Jika ada kekurangan dari saudaranya, maka sudah menjadi kewajibannyalah untuk senantiasa melengkapi atau menjaganya, bukan justru membuang atau memutuskannya. Umat muslim yang satu dengan yang lain ibarat satu tubuh yang jika salah satu anggota badannya mengalami sakit, maka seluruh tubuh akan merasakannya pula. Di sinilah kekuatan Islam akan terbentuk melalui sebuah hubungan persaudaraan yang kuat.“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR. Muslim)
Rosululloh juga pernah bersabda, “Tidak ada satu kebaikan pun yang pahalanya lebih cepat diperoleh daripada silaturahmi, dan tidak ada satu dosapun yang adzabnya lebih cepat diperoleh di dunia, disamping akan diperoleh di akherat, melebihi kedzaliman dan memutuskan tali silaturahmi.” Dalam sebuah riwayat lain, dari Anas ra, ia berkata bahwa Rosulloh saw bersabda, “Barangsiapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya (dipanjangkan umurnya), hendaknya ia menyambung tali silaturahmi. (HR. Mutafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain, Rosululloh saw pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Wahai Rosululloh kabarkanlah kepadaku amal yang dapat memasukkan aku ke surga”.
Rosululloh menjawab; “Engkau menyembah Alloh, jangan menyekutukan-Nya dengan segala sesuatu, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat dan engkau menyambung silaturohmi”. (HR. Bukhari).
Dalil-dalil di atas telah menjelaskan betapa pentingnya arti dari sebuah persaudaraan Islam.
hingga Rosululloh saw pun tidak mau mengakui orang yang tidak memiliki kepedualian terhadap urusan saudaranya sebagai umatnya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya yang artinya:Dari Hudzaifah Bin Yaman ra. berkata, Rosululloh saw. bersabda, ”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan termasuk golongan mereka.”. (HR. At Tabrani)
Setelah kita mengetahui urgensi dari sebuah persaudaraan di dalam Islam, mulai saat ini marilah kita mulai untuk senantiasa menyambung, mempererat, dan menjaga ikatan silaturahmi kita di jalan Islam.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk dalam rangka menyambung,
mempererat dan menjaga tali persaudaraan Islam

1. Ungkapakan Rasa Cinta Anda
Mengungkapkan rasa cinta yang selama ini dikenal di kalangan muda-mudi hanyalah sebatas menyatakan rasa cintanya kepada kekasihnya saja. Namun, Islam yang mengandung ajaran tertinggi memiliki cakupan yang lebih luas dari sekedar itu. Mengungkapkan rasa cinta ternyata juga sangat dibutuhkan dalam rangka mempererat persaudaraan dengan sesama umat Islam.
Hal ini sebagaimana telah dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam sabda-sabda beliau.Rosululloh saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam riwayat yang lain, Anas ra. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rosululloh saw, lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rosululloh saw tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rosululloh.” Lalu Rosululloh saw bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rosululloh saw bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Alloh.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Alloh mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (HR. Abu Dawud)

2. Tunjukkan Wajah Bahagia
Berjumpa dengan seseorang yang memiliki wajah berseri-seri tentunya akan menorehkan kenangan tersendiri.
Wajah yang dengan senyum, penuh semangat dan tidak menunjukkan rona sendu akan menimbulkan kerinduan bagi saudaranya. Bisa saja dengan wajah berseri yang telah kita tunjukkan itu akan memberikan semangat positif bagi saudara yang kita jumpai.
Dengan demikian, akan timbullah kerinduan untuk selalu ingin bertemu dan melihat wajah berseri itu.Rosululloh saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (HR. Muslim)

3. Berjabat Tangan
Berjabat tangan adalah salah satu bentuk sentuhan fisik yang dapat menyentuh hati kedua pihak yang melakukannnya jika dilakukan dengan niat tulus dan penuh semangat karena Allah swt.
Genggamlah tangan saudaramu dengan erat dan hangat, hingga semangat dalam jabat tangan itu dapat meresap dalam sanubari.Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Dawud)

4. Saling Berkunjung
Selain dapat mempererat tali persaudaraan di dalam Islam, saling kunjung-mengunjungi adalah salah satu cara yang akan membawa kita untuk memperoleh cinta dari Allah swt.
Hal ini senada dengan sabda Rosululloh saw berikut:Nabi Muhammad saw bersabda, “Alloh swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberi karena Aku’.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwaththa’)

5. Memberikan Ucapan Selamat
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa perhatian adalah salah satu bentuk tindakan yang sangat efektif untuk mempererat sebuah hubungan. Dan salah satu cara untuk menunjukkan perhatian kepada saudara kita adalah dengan mengucapkan selamat kepadanya manakala ia mendapatkan sebuah kesuksesan.
Persaudaraan di dalam Islam dapat saja menjadi kendur hanya karena sifat saling acuh dan tidak peduli satu sama lain.Dalam hal ini, Rosululloh saw telah bersabda, dari Anas bin Malik, Rosululloh saw bersabda,
“Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Shagir)

6. Saling Memberi Hadiah
Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thobroni)Masih dalam hadits marfu’ Thobroni juga telah meriwayatkan, dari Aisyah ra. bahwa,
“Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu akan saling mencintai.”Kedua hadits di atas meskipun tergolong dalam hadits marfu’, namun memiliki makna yang sangat positif dan sangat mendukung perintah-perintah untuk mempererat persaudaraan di dalam Islam sebagaimana telah di sampaikan di dalam Al Quran dan Al Hadits.

7. Saling Membantu
Rosululloh saw bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Alloh akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Alloh akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat.
Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Alloh akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Alloh selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Merujuk pada hadits di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa sesungguhnya membantu saudara kita yang tengah mengalami kesulitan atau musibah, pada dasarnya adalah untuk membantu diri kita sendiri kelak.
Karena barang siapa memudahkan orang lain yang sedang mengalami kesusahan, makan Alloh swt akan memudahkan kesulitannya di akhirat kelak. Barang siapa menutup aib saudaranya, maka Alloh swt lah yang kelak akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.Sungguh, mempererat hubungan persaudaraan Islam adaladah salah satu amal sholeh yang tiada terkira nilainya.
Melalui hubungan persaudaraan Islam yang kuat, berarti kita telah membantu untuk menegakkan power di dalam tubuh Islam, sebagaimana di ketahui bahwa Rosululloh saw telah bersabda, “Seorang mukmin terhadap mukmin (lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Semakin kuat hubungan persaudaraan Islam yang kita jalin, maka semakin kokoh pula bangunan Islam yang akan berdiri.
Dan Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ.

“Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan silaturahmi.”
Adapun tentang jeleknya hubungan bertetangga (maka sangat penting untuk kita bicarakan).
Betapa banyak seseorang yang tidak mengenal tetangganya sendiri, tidak pernah memperhatikan keadaannya untuk memberikan bantuan ketika ia membutuhkan! Bahkan sebaliknya dia selalu mengganggunya.
Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyakiti tetangga. Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ.

“Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.”
Beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga.
Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ

“Barangsiapa beriman kepada Alloh dan hari Akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”

Dan Nabi Shollallohu ‘aliahi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.

“Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku mengira bahwa dia membawa perintah (dari) Alloh untuk menjadikannya sebagai ahli waris.”
Nabi Shollallohu ‘aliahi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ، قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى. قَالَ فَذَاكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْأُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا“

Sesungguhnya Alloh menciptakan makhluk, hingga ketika selesai dari (menciptakan) mereka, rahim (kekerabatan) berdiri seraya bertanya, ‘Apakah ini tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus-kan (hubungan silaturahmi)?’ Alloh menjawab, ‘Betul, senangkah engkau jika Aku berbuat baik kepada orang yang menghubungkanmu dan jika Aku berbuat tidak baik kepada orang yang memutuskanmu?’ Rahim berkata, ‘Tentu saja.
’ Alloh berfirman, ‘Itulah bagianmu.’” Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mau bacalah (firman Alloh): ‘Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Alloh, lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. Maka tidakkah mereka menghayati al-Qur-an ataukah hati mereka sudah terkunci...???
JIKA KALIAN INGIN CEPAT” BUMI JADI KUBURAN (QIYAMAT) SILAHKAN IKUTI AJARAN AL-BANI KARENA SALAH SATU TANDA-TANDA KEHANCURAN SEMESTA ADALAH MEMUTUSKAN TALI SILATURAHMI …
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفَحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ وَسُوءُ الْمُجَاوَرَةِ.

“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga banyak perbuatan dan perkataan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: اَلْفَحْشُ وَالتَّفَحُّشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحْمِ. ‘

Di antara tanda-tanda Kiamat adalah perbuatan dan perkataan yang keji (kotor), serta pemutusan silaturahmi.”
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ… وَقَطْعُ اْلأَرْحَامِ.

“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat… dan pemutusan silaturahmi.”
YANG MAU MUDIK SILAHKAN YANG BELUM PUNYA UANG BUAT MUDIK JANGAN DI PAKSAKAN NGUTANG ITU NAMANYA BERLEBIHAN …
LEBARAN ITU DENGAN HATI BAHAGIA YANG PERLU DI PERBAHARUI ITU AHLAKNYA …
BILA PERLU BESERTA RUMAH-NYA SERTA BAJUNYA KALO SUDAH ADA …
YANG MAU IKUT DENGAN AJARAN BID’AH UNTUK SILATUROHIM ANJANG SANA SINI
KE KELUARGA YOO SILAHKAN IKUT IMAM KALIAN ….
AQ PILIH IKUT ROSULULLOH SAJA BIAR GAK DI CAP PEMBANGKANG ….!!!

Yasinan & Tahlilan

BACA YASIN DAN TAHLILAN TIDAK PUNYA DALIL
Mungkin ini tahlilan model salafi wahabi, kok gak ada yg cingkrang ya…??
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.”

HUKUM TAHLIL
TAHLILAN KOQ HARAM …..!!!!!!!
KATA SIAPA …..???
TAHLILAN berasal dari kata hallala, yuhallilu,tahlilan, artinya membacakan kalimat La Ilaha Illalloh.
 Seperti yang tertera dalam Lisanul ’Arab bagi Ibnu Mandzur Al-Ifriqy juz XIII sebagai berikut :
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻴﺚ ﺍﻟﺘﻬﻠﻴﻞ ﻗﻮﻝ ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ

”Telah berkata Allaits :arti Tahlil adalah mengucapkan ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ”


Dan yang perlu kita ketahui adalah semua rangkaian kalimat yang ada dalam Tahlil diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang pahalanya dihadiahkan untuk si mayyit.Tahil ini dijalankan berdasar pada dalil-dalil.

DALIL YANG PERTAMA ;
(Al-Tahqiqat, juz III. Sunan an-Nasa’i, juz II)
ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺃﻋﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﻴﺖﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻭﺫﻛﺮﺍﺳﺘﻮﺟﺐﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻰ ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ))

Barang siapa menolong mayyit dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan dzikir, maka Alloh memastikan surga baginya.”

(HR. ad-Darimy dan Nasa’I dari Ibnu Abbas)

DALIL YANG KEDUA
 (Tanqih al-Qoul)
ﻭﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﺗﺼﺪﻗﻮﺍﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺍﺗﻜﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻣﻮﺍﺗﻜﻢ ﻭﻟﻮﺑﺸﺮﺑﺔ ماﺀﻓﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﻘﺪﺭﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﺒﺄﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺎﻥ ﻟﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮﺍﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻓﺎﺩﻋﻮ ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﻤﻐﻔﺮﺓ ﻭﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﺍﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﺪﻛﻢ ﺍﻹﺟﺎﺑﺔ

Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika kalian tidak mengerti Al-Qur’an, berdo’alah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh,  ﺗﻌﺎﻟﻰ الله  telah berjanji akan mengabulkan do’a kalian.”

DALIL YANG KETIGA ;
 (Kasya-Syubhat li as-Syaikh Mahmud Hasan Rabi)
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻰ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺑﻰ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﻳﻌﻨﻰﻟﺰﺍﺋﺮ ﺍﻷﻣﻮﺍﺕ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻣﺎﺗﻴﺴﺮﻭﻳﺪﻋﻮﻟﻬﻢ ﻋﻘﺒﻬﺎﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰﻭﺍﺗﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﺻﺤﺎﺏ

“Dalam Syarah al-Muhamdzdzab Imam
an-Nawawi berkata:
 Adalah disukai seorang berziarah kepada orang mati lalu membaca ayat-ayat al-Qur’an sekedarnya dan berdo’a untuknya.
 Keterangan ini diambil dari teks Imam Syafi’I dan disepakati oleh para ulama yang lainnya.”

DALIL KEEMPAT ;
ﺇﻗﺮﺀﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺗﺎﻛﻢ ﻳﺴﻰ
( (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ ﻭﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ

“Bacalah atas orang-orangmu yang telah mati, akan Surat Yasin” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan Alhakim)
DALIL KELIMA ;  (Fathul mu’in pada Hamisy I’anatuttholibin, juz III)
ﻭﻗﺪ ﻧﺺ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰﻭﺍﻷﺻﺤﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﺪﺏﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮﻋﻨﺪﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻘﺒﻬﺎﺍﻯ ﻻﻧﻪ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﺍﺭﺟﻰﻟﻼﺟﺎﺑﺔ ﻭﻻﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺗﻨﺎﻟﻪﺑﺮﻛﺔ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻛﺎﻟﺤﻲﺍﻟﺤﺎﺿﺮ

“Dan telah menyatakan oleh Assyafi’I dan Ashab-nya atas sunnah membaca apa yang mudah di sisi mayit, d
an berdo’a sesudahnya, artinya karena bahwasanya ketika itu lebih diharapkan diterimanya, dan karena bahwa mayyit itu mendapatkan barokah qiro’ah seperti orang hidup yang hadir.....”
Dan masih banyak dalil-dalil lain….

Tarbiah Thariqat Sufiyyah


Sebagian Para Ulama' Masyhur yang Mengambil Tarbiah Thariqat Sufiyyah
Imam Abu Hanifah r.a.
 
Imam Al-Haskafi Al-Hanafi berkata:
 
 أن أبا علي الدقاق رحمه الله تعالى قال: (أنا أخذتُ هذه الطريقة من أبي القاسم النصر أباذي، وقال أبو القاسم: أنا أخذتها من الشبلي، وهو من السري السقطي، وهو من معروف الكرخي، وهو من داود الطائي، وهو أخذ العلم والطريقة من أبي حنيفة رضي الله عنه، وكلٌ منهم أثنى عليه وأقرّ بفضله..
 
 Maksudnya:
 
 Abu ‘Ali Ad-Daqqaq (guru Imam Al-Qusyairi r.a.) berkata: “Saya mengambil tarikat (sufi) ini daripada Abi Al-Qasim An-Nasr Abazi”. Abu Al-Qasim berkata: “Saya mengambilnya (tarikat sufi) daripada Imam As-Syibli dan beliau (As-Syibli) mengambilnya dari Imam As-Sirri As-Saqati. Beliau (As-Sarri/As-Sirri) mengambilnya daripada Imam Ma’ruf Al-Karkhi dan beliau (Al-Karkhi) mengambilnya (tarikat sufi) daripada Imam Daud At-Tho’ie. Adapun Imam Da’ud At-Tha’ie mengambil ilmu dan tarikat (sufi) daripada Imam Abi Hanifah r.a.. Seluruh ulama’ tersebut memujinya (ilmu tasawwuf) dan mengakui kelebihannya”. [Ad-Durr Al-Mukhtar merujuk kepada Hasyiyah Ibn ‘Abidin: 1/43]
 Imam Al-Haskafi berkata sebagai catatan terhadap hal tersebut dengan berkata:
 
 فيا عجباً لك يا أخي! ألم يكن لك أسوة حسنة في هؤلاء السادات الكبار ؟ أكانوا مُتَّهمين في هذا الإِقرار والافتخار، وهم أئمة هذه الطريقة وأرباب الشريعة والحقيقة ؟ ومَن بعدهم في هذا الأمر فلهم تبع، وكل ما خالف ما اعتمدوه مردود مبتدع
 
Maksudnya: “Betapa anehnya wahai saudaraku! Bukankah contoh terpuji ada pada para ulama’ agung tersebut (yang mengambil tarbiah sufi)? Adakah mereka adalah golongan yang ditohmah pada pengakuan (terhadap keagungan ilmu tasawwuf) dan bermegah (dengan ilmu tasawwuf) sedangkan merekalah para imam tarikat (sufi) dan para pemimpin dalam ilmu syariah dan hakikat? Adapun orang yang setelah mereka (kaum sufi),maka kepada merekalah (para ulama’ sufi dahulu) mereka (kaum sufi sehingga hari ini) ikuti. Adapun orang yang bercanggah dengan pegangan mereka (ulama’ sufi terdahulu), maka dialah yang tertolak dan pelaku bid’ah” [ibid]

 Para ulama’ seperti Imam Ibn Mubarak, Imam Ahmad dan Imam Sufiyan At-Thauri turut memuji Imam Abu Hanifah sebagaimana disebut oleh Imam Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyahnya terhadap kitab tadi. [ibid]

 
Imam Al-Harith bin Al-Asad Al-Muhasibi
 
Imam Az-Zahabi menceritakan tentang kecenderungan Imam Al-Muhasibi terhadap ilmu tasawwuf. Imam Az-Zahabi berkata:
 
 صاحب المصنفات في التصوف والأحوال
 (Beliau) adalah empunya tulisan dalam ilmu tasawwuf dan ahwal” [Al-‘Ibar 1/328]

 
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a.
 
Imam Al-Ghazali ra. Sememangnya seorang ulama’ sufi yang masyhur khususnya di marhalah akhir daripada usianya. Beliau mengarang banyak buku dalam ilmu tasawwuf khususnya buku Ihya’ Ulumiddin, Minhaj
Al-‘Abidin, Minhaj Al-‘Arifin dan sebagainya.

 
Imam Ibn As-Sholah r.a.
Imam As-Suyuti meriwayatkan bahawasanya, Imam Ibn As-Sholah turut dipakaikan khirqah sufiyyah daripada Imam Abu Al-Hasan Al-Mu’ayyad bin Muhammad At-Thusi [Ta’yiid Al-Haqiqah Al-‘Aliyyah 12-13]

 
Sultan Al-Ulama’ Imam Izzuddin bin Abdil Salam r.a.
 
Imam As-Suyuti meriwayatkan bahawasanya Imam Izzuddin mengambil pemakaian khirqah sufi daripada Imam As-Sahrwardi [Husn Al-Muhadarah 1/273]
Malah, Imam Izzuddin bin Abdil Salam juga mengarang kitab Zubd Khulasah At-Tasawwuf, suatu kitab yang membahaskan ilmu tasawwuf secara mendalam.

 
Imam Ibn Al-Jazari r.a.
 
 Beliau turut memakai khirqah sufi dan mengambilnya daripada ulama’ sufi. Beliau berkata dalam Manaqib Al-Asad Al-Ghalib:
 
  وأما لبس الخرقة، واتصالها بأمير المؤمنين علي كرم الله وجهه، فإني لبستها من جماعة، ووصلت إلي منه من طرق رجاء أن أكون في زمرة محبيه، وجملة مواليه يوم القيامة
Maksudnya: “Adapun pemakaian khirqah (sufi) maka bersambung (sanad pemakaian khirqah) kepada Imam Amirul-Mu’minin Ali r.a., maka saya sendiri memakainya daripada beberapa ulama’ (sufi). Maka sampai pemakaian ini kepadaku daripada beliau (Saidina Ali r.a.) dengan banyak jalan dengan harapan agar saya menjadi dalam kalangan golongan pencintanya (Saidina Ali r.a.) dan dalam golongan pengikut-pengikutnya hari Kiamat nanti.
 Beliau berkata lagi:
 
 وللشيخ عز الدين المذكور في خرقة التصوف ثلاث طرق: أحمدية، وقادرية، وسهروردية
  Maksudnya: “Di sisi Sheikh Izzuddin yang disebutkan tadi ada riwayat pemakaian khirqah tasawwuf (pakaian sufi) melalui tiga jalan (tarikat) sufi iaitu: tariqah ahmadiyyah, tariqah qadiriyyah dan tariqah sahruwaridyyah”
 Beliau kemudian berkata:
وأجمع مشايخ التصوف على أن الحسن البصري صحب علي بن أبي طالب ولبس منه والله أعلم، وسألت شيخنا الحافظ إسماعيل بن كثير فقال: لا يبعد أنه أخذ عنه بواسطة، ولقيه له ممكن، فإنه سمع عثمان بن عفان
 
 Maksudnya: Telah bersepakat para ulama’ tasawwuf bahawasanya Imam Al-Hasan Al-Bashri r.a. bersahabat dengan Saidina Ali r.a. lalu mengambil pemakaian khirqah daripada Saidina Ali r.a., wallahu a’lam. Maka saya bertanya sendiri guruku Al-Hafiz Isma’il bin Kathir maka beliau berkata: “Tidak mustahil juga kalau beliau (Imam Hasan Al-Bashri) mengambil pemakaian khirqah daripada Saidina Ali dengan seorang perantara. Namun, pertemuannya (Imam Hasan Al-Bashri) dengannya (Saidina Ali r.a.) suatu yang mumkin (boleh berlaku). Ini kerana, Imam Hasan Al-Bashri meriwayatkan hadith daripada Saidina Uthman bin Affan r.a.. [boleh rujuk kitab beliau Manaqib Al-Asad Al-Ghalib tentang manaqib Saidina Ali bin Abi Thalib r.a.]

 
Imam Az-Zahabi r.a.
 
 Imam Az-Zahabi turut memakai khirqah (pakaian simbolik bagi kaum sufi yang bersambung silsilah pemakaiannya) sebagaimana perkataan beliau:
 
  ألبسني خرق التصوف شيخنا المحدث الزاهد ضياء الدين عيسى بن يحيى الأنصاري بالقاهرة وقال ألبسنيها الشيخ شهاب الدين السهروردي بمكة
 Sheikhna Al-Muhaddith Az-Zahid Dhiya’uddin Isa bin Yahya Al-Anshari memakaikanku pakaian khirqah tasawwuf di Kaherah. Lalu, beliau berkata: “Sheikh Syihabuddin As-Sahruwardi memakaikanku khirqah tasawwuf di Makkah…” [As-Siyar 22/377]

 
 Imam Az-Zahabi turut menceritakan tentang Imam As-Sahrwardi dengan berkata:
  الشيخ الامام العالم القدوة الزاهد العارف المحدث شيخ الاسلام أوحد الصوفية
 
 Maksudnya: “ (Beliau ialah) Sheikh Al-Imam Al-‘Alim Al-Qudwah Az-Zahid Al-‘Arif Al-Muhaddith Sheikhul Islam seorang Sufi yang hebat…” [Siyar pada menterjemahkan manaqib Imam As-Sahrwardi]

 
Imam Al-‘Iraqi r.a.
 
 Imam Al-Iraqi r.a. merupakan guru kepada Imam Ibn Hajar Al-Asqollani r.a.. Imam Al-‘Iraqi memakai khirqah daripada sebahagian ulama’ sufi, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibn Hajar r.a.
 
 Antaranya, Imam Imam Al-‘Iraqi mengambil pemakaian khirqah daripada Imam Majduddin At-Tabari [Ad-Durar Al-Kaminah 1/204] dan juga daripada Imam Muhammad bin ‘Atho’illah Al-Iskandari As-Syazili [Ad-Durar Al-Kaminah 2/180].

 
Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qostollani
 
 Imam Ibn Hajar berkata:
 ولبس الخرقة من جدته عائشة بنت الشيخ قطب الدين القسطلاني
 
 Maksudnya: Beliau memakai khirqah (sufi) daripada neneknda beliau ‘Aisyah binti Sheikh Qutubuddin Al-Qostollani [Ad-Durar Al-Kaminah: 1/101]

 
Imam Ibn Kathir r.a.
 
Imam As-Sofadi meriwayatkan kesufian Imam Ibn Kathir yang mengambil tarikat syaziliyyah [Al-Wafi fi Al-Wafiyyat 21-141]

 Imam An-Nawawi r.a.
 
Imam Al-Nawawi memang terkenal sebagai seorang ulama’ beraqidah ahlus-sunnah al-asya’irah dan juga seorang sufi. Beliau mengarang buku bernama “Maqosid At-Tasawwuf” dalam menjelaskan pendirian beliau terhadap ilmu tasawwuf dan kesufian.

 
Sheikhul Islam Imam Zakaria Al-Anshori
 
Beliau terkenal bukan sahaja sebagai ulama’ fiqh mazhab As-Syafi’e, malah beliau juga dianggap sebagai ulama’ sufi yang agung. Beliau juga tidak terlepas daripada tradisi memakai khirqah yang diambil daripada para ulama’ sufi. Antara mereka yang memberi pemakaian khirqah sufi kepada Imam Zakaria adalah: Sheikh Abu Al-Abbas Ahmad bin Ali Al-Atakawiy, Sheikh Abu Al-Fath Muhammad bin Abi Ahmad Al-Ghizzi, Sheikh Abu Hafsh Umar bin ‘Ali, Sheikh Ahmad bin Al-Faqih Ali Ad-Dailami (Ibn Az-Zalbani), Sheikh Zainuddin Abdullah bin Ali Al-Khalil dan sebagainya (mereka semua adalah ulama’ mazhab syafi’e). [rujuk Al-Kawakib As-Sayyarah oleh At-Tamimi dan Ad-Dhau’ Al-Lami’e oleh Sheikh Syamsuddin As-Sakhawi 2/250]

 
Imam As-Sakhawi r.a..
 
Beliau berkata dalam menceritakan beberapa ulama’ agung sangat menitik beratkan pemakaian khirqah dalam Al-Maqasid Al-Hasanah [331] antaranya Imam Ad-Dailami, Imam Az-Zahabi, Imam Al-Hikari, Imam Abu Hayyan, Imam Al-‘Ala’ie, Imam Al-‘Iraqi dan sebagainya. Lalu beliau sendiri menjelaskan bahawasanya dirinya sendiri memakai khirqah sufi daripada sebahagian ulama’ sufi dalam buku tersebut.

 
Imam As-Suyuti r.a.
Imam As-Suyuti r.a. juga seorang ulama’ sufi yang agung di samping kemasyhuran beliau dalam bidang fiqh, hadith dan tafsir. Beliau mengarang banyak risalah membela ilmu tasawwuf dan masalah-masalah kesufian. Malah, beliau mengarang kitab khusus membela keagungan tarikat Syaziliyyah yang diberinama “Ta’yiid Al-Haqiqah Al-‘Aliyyah”.



Monday 29 July 2013

Status Hadist Dho'if

Di kalangan masyarakat awam, penulis melihat adanya kecenderungan menganggap bahwa hadis dha’if (lemah) sebagai hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam melakukan suatu amalan. Hal ini diakibatkan oleh penyebutannya yang seringkali terkesan negatif dan terpisah-pisah (yaitu hanya menyebut kelemahan suatu riwayat hadis tanpa mengkonfirmasikannya dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, yang mungkin dapat mengangkat statusnya dari kelemahan). Padahal, kelemahan suatu riwayat bisa sangat relatif sifatnya, bisa sedikit dan bisa juga banyak. Dan apa yang mungkin tidak diketahui oleh seorang periwayat hadis secara pasti, sangat mungkin diketahui oleh periwayat yang lain, sebagaimana sisi kekuatan suatu riwayat hadis yang diketahui oleh seorang ahli hadis, sangat mungkin tidak diketahui oleh ahli hadis yang lain. Imam Ibnu Katsir menyebutkan:

وقد نبه الشيخ أبو عمرو ههنا على أنه لا يلزم من الحكم بضعف سند الحديث المعير الحكم بضعفه في نفسه، إذ قد يكون له إسناد آخر، إلا أن ينص إمام على أنه لا يروى إلا من هذا الوجه. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، بيروت، ص. 85)
“Dan Syaikh Abu ‘Amr telah memperingati di sini bahwasanya tidak lazim menghukumi kedha’ifan sanad (jalur riyawat) suatu hadis yang dianggap cacat semata-mata dari hukum dha’ifnya sanad hadis tersebut, dikarenakan ter kadang hadis itu memiliki pensanadan (jalur periwayatan) lain, kecuali bila ada seorang Imam hadis yang menyatakan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui jalur ini.“ (Lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Pada kitab dan halaman yang sama, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menerangkan ungkapan itu dengan penjelasan berikut:

من وجد حديثا بإسناد ضعيف، فلأحوط أن يقول: “إنه ضعيف بهذا الإسناد”، ولا يحكم بضعف المتن –مطلقا من غير تقييد- بمجرد ضعف ذلك الإسناد، فقد يكون الحديث واردا بإسناد آخر صحيح، إلا أن يجد الحكم بضعف المتن منقولا عن إمام من الحفاظ والمطلعين على الطرق.
“Siapa yang mendapati sebuah hadis dengan pensanadan (jalur periwayatan) yang dha’if, maka yang lebih aman hendaknya ia berkata, ‘sesungguhnya hadis ini dha’if dengan jalur periwayatan ini’, dan matan (redaksi/lafaz) hadis tersebut tidak dihukumi dha’if –secara umum tanpa ikatan— semata-mata karena lemahnya jalur periwayatan tersebut, maka terkadang hadis tersebut datang (diriwayatkan) dengan jalur periwayatan lain yang shahih, kecuali bila ditemukan hukum kedha’ifan matan (redaksi/lafaz)nya yang dinukil dari seorang Imam dari kalangan Huffazh (penghafal hadis) yang meneliti jalan-jalannya (jalur-jalur periwayatan hadis).

Penjelasan di atas adalah kelaziman yang harus dilakukan seorang penerima hadis pada saat ia mendapatkan informasi bahwa suatu hadis itu dha’if (lemah), di mana ia tidak serta merta langsung menyatakan hukum dha’if secara mutlak, apalagi menyatakan bahwa hadis dha’iftersebut tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah atau dalil.

Hadis dha’if berbeda dari hadis maudhu’ (palsu). Hadis dha’if tetap harus diakui sebagai hadis, dan menjadikannya sebagai dalil atau dasar untuk melakukan suatu amalan kebaikan yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan) adalah sah menurut kesepakan para ulama hadis. Perhatikan isyarat-isyarat para ulama berikut ini:

مع أنهم أجمعوا على جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال (شرح سنن ابن ماجه ج: 1 ص: 98)
“… sementara mereka (para ahli hadis) telah berijma’ (bersepakat) atas bolehnya mengamalkan hadis dha’if (lemah) di dalam fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan)” (lihatSyarh Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 98).

باب التشدد في أحاديث الأحكام والتجوز في فضائل الأعمال. قد ورد واحد من السلف انه لا يجوز حمل الأحاديث المتعلقة بالتحليل والتحريم الا عمن كان بريئا من التهمة بعيدا من الظنة واما أحاديث الترغيب والمواعظ ونحو ذلك فإنه يجوز كتبها عن سائر المشايخ (الكفاية في علم الرواية، الخطيب البغدادي، ج. 1، ص. 133)
“Bab bersikap ketat pada hadis-hadis hukum, dan bersikap longgar pada fadha’il al-a’mal. Telah datang satu pendapat dari seorang ulama salaf bahwasanya tidak boleh membawa hadis-hadis yang berkaitan dengan penghalalan dan pengharaman kecuali dari orang (periwayat) yang terbebas dari tuduhan, jauh dari dugaan. Adapun hadis-hadis targhib (stimulus/anjuran) dan mawa’izh (nasehat) dan yang sepertinya, maka boleh menulisnya (meriwayatkannya) dari seluruh masyayikh (para periwayat hadis)” (lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir, Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

قال: ويجوز رواية ما عدا الموضوع في باب الترغيب والترهيب، والقصص والمواعظ، ونحو ذلك، إلا في صفات الله عز وجل، وفي باب الحلال والحرام. (الباعث الحثيث شرح اختصار علوم الحديث للحافظ ابن كثير، أحمد مجمد شاكر، دار الكتب العلمية، ص. 85)
“(Ibnu Katsir) berkata: ‘Dan boleh meriwayatkan selain hadis maudhu’ (palsu) pada bab targhib (stimulus/anjuran) dan tarhib (ancaman), kisah-kisah dan nasehat, dan yang seperti itu, kecuali pada sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla dan pada bab halal & haram”(lihat al-Ba’its al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits lilhafizh Ibni Katsir,Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, hal. 85).

Dan banyak lagi pernyataan-pernyataan ulama hadis tentang hal tersebut yang tidak mungkin disebutkan keseluruhannya di sini.

Kaitannya dengan pembahasan bid’ah adalah bahwa kaum Salafi & Wahabi terkesan mudah mengkategorikan suatu amalan sebagai bid’ah, atau minimal sebagai amalan yang harus dihindari hanya karena hadis yang dijadikan dalil untuk itu mereka anggap dha’if. Padahal, amalan-amalan yang didasari oleh hadis-hadis dha’if tersebut tergolong fadha’il al-a’mal (keutamaan amalan) atau furu’ (perkara cabang) yang bukan pokok di dalam penentuan hukum agama. Contohnya, hadis-hadis yang dijadikan dalil untuk menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit.

Al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan:
واستدلوا على الوصول، وبالقياس على ما تقدم من الدعاء والصدقة والصوم والحج والعتق، فإنه لا فرق في نقل الثواب بين أن يكون عن حج أو صدقة أو وقف أو دعاء أو قراءة، وبالأحاديث الآتي ذكرها، وهي وإن كانت ضعيفة، فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا، وبأن المسلمين ما زالوا في كل عصر، يجتمعون ويقرؤون لموتاهم من غير نكير، فكان ذلك إجماعا. ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة. (شرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور، الحافظ جلال الدين السيوطي، دار الفكر، بيروت، ص. 269)
“Dan mereka (jumhur ulama) mengambil dalil atas sampainya (hadiah pahala kepada mayit), dan dengan qiyas kepada apa yang telah disebutkan daripada do’a, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, maka sesungguhnya tidak ada beda dalam hal memindahkan pahala antara entahkah amalan itu haji, sedekah, wakaf, do’a, atau bacaan al-Qur’an. Dan dengan hadis-hadis yang akan disebutkan, meskipun dha’if, maka semuanya menunjukkan bahwa hal tersebut (menghadiahkan pahala kepada mayit) memiliki asal (landasan di dalam agama), dan bahwa kaum muslimin di setiap masa masih terus berkumpul dan membacakan al-Qur’an untuk mayit-mayit mereka tanpa ada yang mengingkarinya, maka menjadilah hal itu sebagai ijma’. Semua itu telah disebutkan oleh al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi al-Hanbali di dalam sebuah juz yang ia tulis tentang masalah tersebut.” (Lihat Syarh al-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur,al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, Dar el-Fikr, Beirut, hal. 269).

Demikianlah contoh kearifan para ulama hadis dalam menilai dan menyikapi dalil-dalil yang secara zhahir dianggap dha’if. Sayangnya sikap seperti ini tidak ditiru oleh orang-orang yang gemar sekali menuduh bid’ah setiap perkara baru berbau agama. Terkadang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang tahqiq al-hadits (penelitian hadis) mereka dengan mudahnya mencampakkan suatu amalan ke dalam keranjang bid’ah sesat hanya karena mereka nilai dalilnya dha’if (lemah).

Ini adalah sebuah masalah yang kerapkali muncul di kalangan para pelajar ilmu hadis, terutama bagi mereka yang baru merasa bisa meneliti hadis sendiri. Yang kemudian menambah masalah tersebut semakin tidak karuan adalah ketika dalam menyebutkan kedha’ifan hadis tersebut, orang-orang tersebut sering mendasarinya dengan penilaian hadis menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani yang kredibilitasnya tidak diakui oleh para ulama hadis.

Jadi... Lihat scan kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7

Terjemahnya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu“

Wallahua'lam...

Ngalap Berkah

Akhirnya dapat juga dalil shohih tentang ziarah kubur, dan ngambil berkah di kuburan sekaligus meminta hajat dikuburan, hehe...
Mudah2an wahabi yg ngatain kita kuburiyun, mereka mau tobat,....amin....

Aku menemukan dalam kitab tarikh bagdad halaman 445 jilid 1, Pengarang nya adalah imam abu bakar ahmad bin ali bin tsabit albagdad, beliau di kenal dgn khatib bagdad,seorang hafizh,bahkan kata ulamabagdad, tidk ada lg yg lbh hafizh di negri bagdad stlh wafat imam daru qutni selain khatib bagdad, ini riwayat nya:

أخبرني أبو إسحاق إبراهيم بن عمر البرمكي قال حدثنا أبو الفضل عبيد الله بن عبد الرحمن بن محمد الزهري قال سمعت أبي يقول : قبر معروف الكرخي مجرب لقضاء الحوائج ويقال : إنه من قرأ عنده مائة مرة قل هو الله أحد وسأل الله ما يريد قضى الله له حاجته

Khatib bagdad telah mengatakan riwayat ini shohih, setelah ku teliti ternyata memang shohih, simak penjelasan keshohihan riwayat ini yg akan kami bahas :
Rawi 1 :أبو إسحاق إبراهيم بن عمر البرمكي Abu ishaq ibrahim bin umar albarmaki, dalam siyar a'lam nubala imam zahabi mengatakan, beliau ini adalah seorang imam, mufti, musnid dunia, ahli faraidh, zuhud, sholeh, dengn smua sifat diatas, maka dpt dsimpulkan semua riwayat beliau dapat dpercaya 1jt persen....
Rawi 2:أبو الفضل عبيد الله بن عبد الرحمن بن محمد الزهري Abul fadhl, ubaidullah bin abdurrahman bin muhammad azzuhri, imam hadist daru qutni mengatakan bhw beliau adalah seorang tsiqoh, dipercaya, dan bnyak punya karangan, dalam siyar a'lam nubala imam zahabi mengatakan beliau seorang tsiqoh, musnid, ahli ibadah, beliau adalah cucu abdurrahman bin aufJadi dri keterangan diatas,riwayat dari beliau dapat dpercaya 1jt persen.....
Rawi 3:عبد الرحمن بن محمد بن عبيد الله بن سعد بن إبراهيم بن سعد بن إبراهيم بن عبد الرحمن بن عوف الصحابي Ayah beliau yaitu abdurrahman bin muhammad,Imam khatib bagdad mengatakan beliau tsiqoh dalam riwayat hadist,Dan riwayat beliau dapat dterima jg 1jt persen....

أخبرني أبو إسحاق إبراهيم بن عمر البرمكي Imam khatib bagdad mengatakan telah mengkhabarkan kpd kami seorang yg sholeh abu ishaq ibrahim bin umar albarmaki
قال حدثنا أبو الفضل عبيد الله بن عبد الرحمن بن محمد الزهري Abu ishaq mengatakan telah mengkhabarkan kpd kami abulfadhli ubaidullah bin abdurrahman bin muhammad azzuhri قال سمعت أبي Beliau mengatakan aku mendgr ayahku abdurrahman bin muhammad azzuhri يقول : قبر معروف الكرخي مجرب لقضاء الحوائج Beliau selalu (fi'il mudhari lil istimror) mengatakan : bermula kuburan wali besar ma'ruf al karkhi,sangat mujarrab untuk menunaikan segala hajat ويقال : إنه من قرأ عنده مائة مرة قل هو الله أحد وسأل الله ما يريد قضى الله له حاجته Dan dikatakan orang : sesungguhnya (hal wasyan) siapapun yg membaca (fi'il syarat) di sisi kuburan ma'ruf alkarkhi surah al ikhlas 100x, beserta (waw ma'iyyah) ia meminta kpd Allah apa saja yg ia hendaki, (jawab syarat ) maka PASTI ALLAH QABULKAN HAJAT nya,.....

Dari sini dalil di suruhnya kita menziarahi kuburan para wali jika ada hajat dunia atau akhirat,.....

Kemudyan dalam riwayat diatas, nama ma'ruf alkarkhi tdk menjadi qaid,dan tdk terhenti fahaman cuma smpy pd beliau saja, tp menziarahi kubur semua para wali2 Allah dan minta berkah dan hajat di kuburan itu sama saja, akan di qabulkan Allah jg hajatnya,.....

Adapun hadist shohih yg di riwayatkan oleh imam bukhari :
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن ابن شهاب عن سعيد بن مسيب عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : قاتل الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد

Rasul bersabda : mudah2an Allah membunuh, melaknat qaum yahudi, yg mereka menjadikan quburan para nabi mereka itu TEMPAT TEMPAT SUJUD, MASAJID itu jama dari isim makan MASJID, MASJIDUN MASJIDAANI MASAAJIDU,....

Adapun jika kita tdk menjadikan kuburan itu tempat sujud atau arah sujud, atau sujud dgn tdk ada niat menujukan ke kuburan itu, maka lepaslah dari laknat Allah spt Allah melaknat yahudi di atas,.....

Kuburan para wali dan para nabi adalah beberkah, kita di suruh sekedar ziarah, dan ngambil berkah di sana,....

Adapun wahabi yg nuduh kita nyembah kuburan, سبحانك هذا بهتان عظيم Ini adalah tuduhan yg dusta dan menyebabkan dosa besar, Karena smpai skrg tdk ada dari golongan ahlussunnah waljamaah (aswaja) yg sujud di mukanya ada kuburan atau pun sholat di hadapan nya ada kuburan dengan menjadikan kuburan sebagai kiblat......

Nishfu Sya'ban

Menurut Ajaran Wahabi - Kegiatan - Malam Nisfu Sya'ban itu Bid'ah, sesat.


Benarkah Pemahaman Mereka....????

Banyak Web2, atau Blog orang2 Wahabi yg membahas , saling tanya jawab, dan mengatakan bahwa Malam Nisfu Sya'ban itu Bid'ah, mungkar, sesat, dan lain sebagainya.....


Sya'ban diambil kosa kata bahasa Arab yang berasal dari kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Umat Islam kemudian memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan.

Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam kalender Islam .Dinamakan Sya’ban, karena orang-orang Arab pada bulan-bulan tersebut yatasya’abun/berpencar untuk mencari sumber mata air. Dikatakan juga karena mereka tasya’ub/berpisah-pisah di gua-gua. Dan dikatakan juga sebagai bulan Sya’ban karena bulan ini muncul/sya’aba di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan.

Peringatan Nisfu Sya’ban tidak hanya dilakukan di Indonesia saja. Al-Azhar sebagai yayasan pendidikan tertua di Mesir bahkan di seluruh dunia selalu memperingati malam yang sangat mulia ini.

Karena bulan Sya’ban terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, karena diapit oleh dua bulan mulia ini, maka Sya’ban seringkali dilupakan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Dalam bulan Sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.

Rasulullah SAW bersabda,

ذاكَ شهر تغفل الناس فِيه عنه ، بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم — حديث صحيح رواه أبو داود النسائي

”Bulan Sya’ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Nasa’i)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah tidak pernah berpuasa (sunnah) lebih banyak daripada ketika bulan Sya’ban. Periwayatan ini kemudian mendasari kemuliaan bulan Sya’ban di antar bulan Rajab dan Ramadhan.

Karenanya, pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak berdzikir dan meminta ampunan serta pertolongan dari Allah SWT, walaupun dalam kesehariannya umat Islam juga telah berusaha untuk banyak berdzikir dan meminta pertolongan dari Allah SWT.

Dari sinilah umat Islam, berusaha memuliakan bulan Sya’ban dengan mengadakan shodaqoh dan menjalin silaturrahim. Umat Islam di Nusantara biasanya menyambut keistimewaan bulan Sya’ban dengan mempererat silaturrahim melalui pengiriman oleh-oleh yang berupa makanan kepada para anak yatim piatu, orang2 yg membutuhkan, kerabat, sanak famili dan kolega kerja mereka. Tradisi ini menyimbolkan persaudaraan dan mempererat ikatan silaturrahim kepada sesama Muslim.

Kegiatan Nifsu Sya’ban menurut sebagian Ulama, yaitu antara lain:

1. Sholat fardlu Maghrib
2. Membaca Surah Yassin 3 kali
3. Membaca doa Nifsu Sya’ban
4. Menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan memperbanyak dzikir, shalawat, doa dan istighfar.

Adapun apa yang sering dilakukan oleh sebagian umat Islam, yaitu Salat Malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, Hadistnya oleh sebagian ahli hadist dianggap sahih, namun sebagian menganggap dhaif.
Namun demikian dalam urusan shalat sunnah, kata Nabi, boleh kita tambahi jumlahnya dan boleh kita kurangi sesuai kemampuan kita.


Tentang keutamaan sya'ban :

Rasulullah saw bersabda,:
“Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn Hibban hadits no.5755)

”Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Nasa'i)

Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya'ban sebagai malam yg penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya'ban Allah memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karepa pada malam ke-15 bulan Sya’ban nanti, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah.....

Diriwayatkan dari Siti A’isyah ra berkata, :
“Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: “Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian?”. Lalu aku menjawab: “Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama”. Lalu beliau bertanya: “Tahukah engkau, malam apa sekarang ini”. “Rasulullah yang lebih tahu”, jawabku. “Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki” (H.R. Baihaqi) .

Diriwayatkan dari Siti Aisyah ra bercerita:
bahwa pada suatu malam ia kehilangan Rasulullah SAW. Ia lalu mencari dan akhirnya menemukan beliau di Baqi’ sedang menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nishfu Sya’ban dan mengampuni (dosa) yang banyaknya melebihi jumlah bulu domba Bani Kalb.” (HR Turmudzi, Ahmad dan Ibnu Majah)

Diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari :
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah pada malam nishfu Sya’ban mengawasi seluruh mahluk-Nya dan mengampuni semuanya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan.” (HR Ibnu Majah)

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib :
bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika malam nishfu Sya’ban tiba, maka salatlah di malam hari, dan berpuasalah di siang harinya, karena sesungguhnya pada malam itu, setelah matahari terbenam, Allah turun ke langit dunia dan berkata, Adakah yang beristighfar kepada Ku, lalu Aku mengampuninya, Adakah yang memohon rezeki, lalu Aku memberinya rezeki , adakah yang tertimpa bala’, lalu Aku menyelamatkannya, demikian seterusnya hingga terbitnya fajar.” (HR Ibnu Majah).

Syaikh‘Abdul Qadir al-Jailaniy berkata:
“Malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang paling mulia setelah Lailatul Qodr.” (Kalaam Habiib ‘Alwiy bin Syahaab)

Berkata Imam Syafii rahimahullah :
“Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).

Dikutip dari buku al-Fawaaidul Mukhtaaroh Diceritakan bahwa Ibnu Abiy as-Shoif al-Yamaniy berkata:
“Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan sholawat kepada Nabi, karena ayat Innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuna ‘alan Nabiy … diturunkan pada bulan itu. (Ma Dza Fiy Sya’ban )

Dikutip dari buku al-Fawaaidul Mukhtaaroh Diceritakan bahwa Ibnu Abiy as-Shoif al-Yamaniy berkata, :
“Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan sholawat kepada Nabi saw, karena ayat Innallooha wa malaaikatahuu yusholluuna ‘alan Nabiy … diturunkan pada bulan itu. (Ma Dza Fiy Sya’ban )


KESIMPULAN

Kita sebagai umat Islam sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya’ban dengan cara memperbanyak ibadah, shalat sunnah, memperbanyak bacaan zikir, memperbanyak baca’an shalawat, membaca al-Qur’an, bersedekah, berdo’a dan mengerjakan amal-amal salih lainnya.....

Karena dengan hal ini dapat juga menjadi latihan untuk umat Islam agar terbiasa setiap harinya melakukan hal2 yg disebutkan di atas. Agar keimanan dan ketaqwaan semakin meningkat.....

Rasulullah bersabda: “sungguh sebesar besarnya dosa muslimin dg muslim lainnya adalah pertanyaan yg membuat hal yg halal dilakukan menjadi haram, karena sebab pertanyaannya” (Shahih Muslim)

Penjabaran Tentang Riddah ( Murtad )

Penjelasan Tentang Riddah (Keluar Dari Islam) Dari Berbagai Kitab Para Ulama 4 Madzhab ( Supaya Kita Selalu Terhindar Dari Kufur )

الردة

الردة وهي قطع الإسلام، وتنقسم إلى ثلاثة أقسام: أفعال وأقوالٌ واعتقادات كما اتَّفقَ على ذلك أهل المذاهب الأربعة وغيرهم، كالنووي (ت676 هـ) وغيره من الشافعية، وابن عابدين ( ت 1252 هـ ) وغيره من الحنفية، ومحمد عليش ( ت1299 هـ ) وغيره من المالكية، والبهوتي ( ت 1051 هـ) وغيره من الحنابلة.

Riddah
Riddah adalah memutuskan Islam. Riddah terbagi kepada tiga macam; riddah (keluar dari Islam) karena perbuatan, karena perkataan dan karena keyakinan. Pembagian ini telah disepakati oleh para ulama dari empat madzhab dan lainnya; seperti, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dan lainnya dari ulama madzhab Syafi’i, al-Imam Ibn Abidin (w 1252 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanafi, Syekh Muhammad Illaisy (w 1299 H) dan lainnya dari ulama madzhab Maliki, dan al-Imam al-Buhuti (w 1051 H) dan lainnya dari ulama madzhab Hanbali.

وكلٌّ من الثلاثة كفرٌ بمفردِهِ فالكفرُ القوليُّ كفرٌ ولو لم يقترن به اعتقادٌ أو فعلٌ، والكفرُ الفِعْلِيُّ كفرٌ ولو لم يقترن به قول أو اعتقادٌ أو انشراحُ الصَّدْر به، والكفرُ الاعتقادي كفرٌ ولو لم يقترن به قولٌ أو فعلٌ، وسواء حصول هذا من جاهل بالحكم أو هازل أو غضبان.
قال الله تعالى: [وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ] {التوبة 66-65 } .

Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya merupakan kekufuran (artinya mengeluarkan seseorang dari Islam). Kufur Qawli misalkan, (kufur karena ucapan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur I’tiqadi dan atau kufur Fi’li. Demikian pula kufur Fi’li (kufur karena perbuatan) dengan sendirinya bila terjadi dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sekalipun tidak dibarengi dengan kufur Qawli, atau kufur I’tiqadi, dan juga walaupun tidak dibarengi dengan tujuan dalam hati untuk keluar dari Islam itu sendiri. Dan demikian pula dengan kufur I’tiqadi dengan sendirinya ia merupakan kekufuran walaupun tidak dibarengi dengan kufur Qawli dan atau kufur Fi’li. Dengan demikian setiap satu dari tiga macam kufur ini bila terjadi masing-masing maka dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari Islam, sama halnya bila itu terjadi dari seorang yang tidak mengetahui hukumnya, atau orang yang dalam keadaan bercanda, dan atau orang yang dalam keadaan marah.

Allah berfirman:

قال الله تعالى: [وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ] {التوبة 66-65 }

“Dan bila engkau (Wahai Muhammad) benar-benar bertanya kepada mereka (orang-orang murtad); maka mereka sungguh akan berkata: “Sesungguhnya kami hanya terjerumus dan hanya bermain-main (bercanda)”, katakan (wahai Muhammad); “Adakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-olok? Janganlah kalian mencari alasan, sungguh kalian telah menjadi kafir setelah kalian beriman”. (QS. At-Taubah; 65-66).
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" إنَّ الرَّجلَ لَيَتَكلَّمُ بالكلمةِ لا يَرى بها بأسًا يهوِي بِها سبعينَ خريفًا في النَّارِ " رواه الترمذي وحسنه، وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. (HR. at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih masing-masing).
وقال الإمام المجتهد محمد بن جرير الطبري ( ت 310 هـ ) في كتابه " تهذيب الآثار ": إن من المسلمين من يخرج من الإسلام من غير أن يقصد الخروج منه اهـ.
Salah seorang Imam Mujtahid terkemuka; yaitu Imam Muhammad ibn Jarir ath-Thabari (w 310 H) dalam kitab karyanya berjudul Tahdzib al-Atsar, berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya (menjadi kafir) walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya”.
وقال الحافظ الكبير أبو عوانة (ت 316 هـ) الذي عمل مستخرجا على مسلم، فيما نقله عنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري ج12/301-302:" وفيه أن من المسلمين من يخرج من الدين من غير أن يقصد الخروج منه ومن غير أن يختار دينا على دين الإسلام" اهـ.
Ahli hadits terkemuka yang telah membuat kitab al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim, yaitu al-Hafizh Abu Uwanah (w 316 H), berkata: “Sesungguhnya ada di antara orang-orang Islam yang keluar dari Islamnya walaupun ia tidak bermaksud untuk keluar darinya, dan atau walaupun ia tidak bertujuan memilih agama lain selain agama Islam”. (Dikutip oleh al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqlani dalam Fath al-Bari, j. 12, h. 301-302).
وقال الشيخ عبد الله بن الحسين بن طاهر الحضرمي (ت 1272 هـ) في كتابه سلم التوفيق إلى محبة الله على التحقيق:" يجب على كل مسلم حفظُ إسلامه وصونُهُ عمَّا يفسده ويبطلُهُ ويقطعُهُ وهو الرّدةُ والعياذ بالله تعالى وقد كثُرَ في هذا الزمان التساهلُ في الكلام حتى إنَّهُ يخرج من بعضهم ألفاظٌ تُخرجهم عن الإسلام ولا يَرَوْنَ ذلك ذنبًا فضلاً عن كونه كفرًا"اهـ
Syekh Abdullah ibn al-Husain ibn Thahir al-Hadlrami (w 1272 H) dalam kitab Sullam at-Taufiq Ila Mahabbah Allah ‘Ala at-Tahqiq, berkata: “Wajib atas setiap orang muslim menjaga Islamnya, dan memeliharanya dari segala perkara yang dapat merusaknya, membatalkannya, dan memutuskannya; yaitu riddah --semoga kita dilindungi oleh Allah darinya--. Dan sungguh di zaman sekarang ini telah banyak orang yang menganggap remeh dalam berkata-kata hingga telah keluar dari sebagian mereka kata-kata yang telah mengeluarkan mereka dari Islam. Ironisnya, mereka tidak menganggap hal itu sebagai dosa, terlebih menganggapnya sebagai kekufuran”.
قال مختصره الإمام المحدث الشيخ عبد الله بن الهرري (ت 1429 هـ) ص/14: " وذلك مصداقُ قوله صلى الله عليه وسلم :" إن العبد ليتكلم بالكلمة لا يرى بها بأسًا يهوي بها في النار سبعين خريفًا" أي مسافة سبعين عامًا في النـزول وذلك منتهى جهنم وهو خاصٌ بالكفار. والحديث رواه الترمذي وحسَّنَه. وفي معناه حديث رواه البخاري ومسلم، وهذا الحديث دليل على أنه لا يشترط في الوقوع في الكفر معرفة الحكم ولا انشراح الصدر ولا اعتقاد معنى اللفظ."اهـ
Al-Imam al-Hafizh Abdullah ibn Muhammad al-Harari (w 1429 H), dalam kitab Mukhtashar Sullam at-Taufiq, h. 14, berkata: “--bahwa menganggap remeh kata-kata kufur dapat mengeluarkan seseorang dari Islamnya-- hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya bila seseorang berkata-kata dengan kata-kata (kufur) walaupun dia tidak menganggap hal itu sebagai keburukan maka karena ucapannya tersebut ia akan masuk ke dalam neraka hingga dasarnya --yang jarak permukaan dengan dasarnya- adalah selama 70 tahun”. Artinya, ia akan masuk ke dalam neraka hingga ke dasarnya yang jarak hingga dasarnya tersebut adalah 70 tahun, dan dasar neraka adalah khusus sebagai tempat bagi orang-orang kafir. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia mengatakan ini hadits Hasan. Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini merupakan dalil bahwa terjatuh dalam kufur tidak disyaratkan harus mengetahui hukumnya, juga tidak disyaratkan bahwa hatinya benar-benar bertujuan keluar dari Islam, serta juga tidak disyaratkan bahwa ia harus meyakini bahwa kata-kata tersebut dapat mengeluarkan dirinya dari Islam”. (Artinya, secara mutlak dengan hanya berkata-kata kufur; seseorang menjadi kafir/keluar dari Islam).
وقال السيد البكري الدمياطي (ت 1310هـ) في إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين( م2/ج4/133): "واعلم أنه يجري على ألسنة العامة جملة من أنواع الكفر من غير أن يعلموا أنها كذلك فيجب على أهل العلم أن يبينوا لهم ذلك لعلهم يجتنبونه إذا علموه لئلا تحبط أعمالهم ويخلدون في أعظم العذاب، وأشد العقاب، ومعرفة ذلك أمر مهمّ جدًا، وذلك لأن من لم يعرف الشرّ يقع فيه وهو لا يدري، وكل شرّ سببه الجهل، وكل خير سببه العلم، فهو النور المبين، والجهل بئس القرين"اهـ
As-Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) dalam kitab I’anah ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in, vol. 2, j. 4, h. 133, berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang dengan lidahnya telah berkata-kata kufur tanpa mereka ketahui bahwa sebenarnya hal itu merupakan kekufuran (dan menjatuhkan mereka di dalamnya). Maka wajib atas seorang yang memiliki ilmu untuk menjelaskan bagi mereka perkara-perkara kufur tersebut supaya bila mereka mengetahinya maka mereka akan menghindarinya, dan dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, serta mereka tidak dikekalkan di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih. Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu pangkalnya (sebab utamnya) adalah kebodohan (tidak memiliki ilmu), dan setiap kebaikan itu pangkalnya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”.
ويقول الحافظ الفقيه محمد بن محمد الحسيني الزبيدي الشهير بمرتضى (ت 1205هـ) في كتابه اتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين،ج5/333، ما نصه: "وقد ألف فيها( الردة) غير واحد من الأئمة من المذاهب الأربعة رسائل وأكثروا في أحكامها"اهـ
Al-Imam al-Hafizh al-Faqih Muhammad ibn Muhammad al-Husaini az-Zabidi yang lebih dikenal dengan sebutan Mutadla az-Zabidi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 5, h. 333, menuliskan: “Sangat banyak sekali para Imam terkemuka dari ulama empat madzhab yang telah menuliskan berbagai risalah/kitab dalam menjelaskan masalah riddah dan hukum-hukumnya”.
الحنفية

قال الفقيه الحنفي محمد أمين الشهير بابن عابدين (ت1252هـ) في كتاب رد المحتار على الدر المختار شرح تنوير الأبصار، ج6/354، باب المرتد: شرعا الراجع عن دين الإسلام، وركنها إجراء كلمة الكفر على اللسان بعد الإيمان. هذا بالنسبة إلى الظاهر الذي يحكم به الحاكم، وإلا فقد تكون بدونه كما لو عرض له اعتقاد باطل أو نوى أن يكفر بعد حين "اهـ.

Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanafi
Salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia meletakan niat untuk menjadi kafir)”.
وقال البدر الرشيد الحنفي (ت 768هـ) في رسالة له في بيان الألفاظ الكفرية ص/19:" من كفر بلسانه طائعا وقلبه على الإيمان إنه كافر ولا ينفعه ما في قلبه ولا يكون عند الله مؤمنا لأن الكافر إنما يعرف من المؤمن بما ينطق به فإن نطق بالكفر كان كافرا عندنا وعند الله "اهـ .
Al-Imam Badr ar-Rasyid al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh), walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adalah seorang yang kafir, oleh karena sesungguhnya seorang mukmin itu diketahui bahwa ia seorang mukmin adalah dari apa yang diucapkannya, dengan demikian apa bila ia berkata-kata kufur maka sungguh ia telah menjadi kafir; menurut kita dan menurut Allah”.
وقال الشيخ ملا علي القاري الحنفي (ت1014 هـ) في شرح كتاب الفقه الأكبر للإمام أبي حنيفة النعمان بن ثابت الكوفي، ص/274:" ثم اعلم أنه إذا تكلم بكلمة الكفر عالما بمعناها ولا يعتقد معناها لكن صدرت عنه من غير إكراه بل مع طواعية في تأديته فإنه يحكم عليه بالكفر"اهـ.
Syekh Mulla Ali al-Qari’ al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui makna kata-kata kufur tersebut; --walaupun ia tidak meyakininya sebagai kekufuran--, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.
وجاء في كتاب الفتاوى الهندية في مذهب الإمام أبي حنيفة، (قام بتأليفها جماعة من علماء الهند برئاسة الشيخ نظام الدين البلخي بأمر من سلطان الهند أبي المظفر محيى الدين محمد أورنك زيب) ج2/259 و261 ما نصه:"يكفر بإثبات المكان لله تعالى"، "وكذا إذا قيل لرجل: ألا تخشى الله تعالى، فقال في حالة الغضب: لا، يصير كافرا،كذا في فتاوى قاضيخان"اهـ
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah? Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.
وقال الإمام محمد بن أحمد السرخسي الحنفي (ت 483 هـ )في كتابه المبسوط، في المجلد الثالث ج5/49، ما نصه:"باب نكاح المرتد: وإذا ارتد المسلم بانت منه امرأته مسلمة كانت أو كتابية دخل بها أو لم يدخل بها عندنا" اهـ
Al-Imam Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth, vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad. Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.
وقال الإمام عبد الله بن أحمد النسفي (ت 701 هـ) في كنـز الدقائق،كتاب السير :" أَجْمَعَ أَصْحَابُنَا عَلَى أَنَّ الرِدة تُبْطِلُ عِصْمَةَ النِّكَاحِ وَتَقَعُ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا بِنَفْسِ الرِّدةِ" اهـ
Al-Imam Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.
وقال الشيخ عبد الغني الغنيمي الدمشقي الميداني الحنفي (ت 1298هـ) في اللباب في شرح الكتاب، ج3/28، ما نصه: "وإذا ارتد أحد الزوجين عن الإسلام وقعت الفرقة بينهما بغير طلاقٍ "اهـ
Syekh Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri menjadi murad/keluar dari Islam maka --secara otomatis terjadi perpisahan antara keduanya-- yang bukan karena talaq/cerai”.
وقال الشيخ عبد الغني النابلسي الحنفي (1143هـ) في كتاب الفتح الرباني والفيض الرحماني ص/124، ما نصه :" وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب... وأما التشبيه: فهو الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو عليه" اهـ.
Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, --semoga kita terlindung darinya--. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah yang sebenarnya wajib ia ketahui”.
المالكية

قال القاضي عياض اليحصبي المالكي (ت 544 هـ) في كتابه الشفا ج2/214 الباب الأول في بيان ما هو في حقه صلى الله عليه وسلم سبٌ أو نقص ٌ من تعرض أو نصٍ: من سب النبي صلى الله عليه وسلم أو عابه أو ألحق به نقصا في نفسه أو نسبه أو دينه أو خصلة من خصاله أو عرَّضَ به أو شبهه بشىء على طريق السب له أو الإزراء عليه أو التصغير لشأنه أو الغض منه والعيب له فهو ساب له... قال محمد بن سنحون أجمع العلماء أن شاتم النبي صلى الله عليه وسلم المنتقص له كافر والوعيد جار عليه بعذاب الله له ... ومن شك في كفره وعذابه كفر."اهـ

Penjelasan Para Ulama Madzhab Maliki
Al-Imam al-Qadli Iyadl al-Maliki (w 544 H) dalam kitab karyanya berjudul asy-Sifa’ Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, j. 2, h. 214, menuliskan: “Bab pertama; Penjelasan tentang mencaci-maki atau merendahkan Rasulullah (baik dalam bentuk kata-kata atau tulisan). Barangsiapa mencaci-maki Rasulullah, mencelanya, menyandarkan kerendahan/kekurangan/aib kepadanya; baik pada diri beliau sendiri, atau agamanya/ajarannya/akhlaknya, atau pada sifat dari sifat-sifatnya, atau merendahkan kehormatannya, atau menyerupakannnya dengan sesuatu untuk tujuan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkan keutamaannya, atau untuk tujuan berpaling darinya dan membuat aib baginya; maka orang semacam ini adalah orang yang mencaci Rasulullah, dan Ibn Syahnun berkata: Para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa orang yang mencaci-maki Rasulullah dan menghinakannya maka ia telah kafir, dan orang semacam ini layak mendapatkan ancaman Allah untuk disiksa. Dan barangsiapa meragukan bahwa orang tersebut telah menjadi kafir dan berhak untuk mendapat siksa; maka orang ini juga telah menjadi kafir”.
وقال الشيخ أبو عبد الله محمد أحمد عليش المالكي مفتي الديار المصرية الأسبق (ت 1299هـ) في منح الجليل على مختصر العلامة خليل ج9/205 ما نصه: "وسواء كفر بقول صريح في الكفر كقوله كفر بالله أو برسول الله أو بالقرءان أو إلاله اثنان أو ثلاثة أو المسيح ابن الله أو العزير ابن الله أو بلفظ يقتضيه أي يستلزم اللفظ للكفر استلزاما بينا كجحد مشروعية شىء مجمع عليه معلوم من الدين بالضرورة، فإنه يستلزم تكذيب القرءان أو الرسول، وكاعتقاد جسمية الله وتحيزه..أو بفعل يتضمنه أي يستلزم الفعل الكفر استلزاما بينا كإلقاء أي رمي مصحف بشىء قذر"اهـ .
Syekh Abu Abdillah Muhammad Ahmad Illaisy al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka mantan Mufti negara Mesir (w 1299 H) dalam kitab Minah al-Jalil ‘Ala Mukhtashar al-‘Allamah al-Khalil, j. 9, h. 205, berkata: “Sama halnya kufur tersebut terjadi dengan kata-kata yang jelas (sharih/jelas sebagai kata-kata kufur), seperti bila ia berkata “Saya kafir kafir kepada Allah”, atau “saya kafir kepada Rasulullah”, atau “saya kafir kepada al-Qur’an”, atau ia berkata: “Tuhan ada dua”, atau berkata: “al-Masih (Nabi Isa) adalah anak Allah”, atau berkata “Uzair adalah anak Allah”, atau berkata-kata dengan ucapan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia mengingkari sesuatu yang secara syari’at telah disepakati (ijma’) yang hukumnya telah pasti diketahui oleh setiap orang Islam (Ma’lum min ad-din bi adlarurah; seperti kewajiban shalat lima waktu, haram zina, haram mencuri dan lainnya), karena dengan demikian ia telah mendustakan al-Qur’an dan mendustakan Rasulullah. Termasuk contoh kufur dalam hal ini berkeyakinan bahwa Allah adalah benda, dan atau bahwa Dia memiliki tempat dan arah. Termasuk juga berbuat dengan perbuatan yang secara nyata menunjukan dan mejadikannya jatuh dalam kufur, seperti bila ia melempar/membuang al-Qur’an (atau bagian dari al-Qur’an) di tempat yang menjijikan”.
وقال أيضا في فتح العلي المالك في الفتوى على مذهب الإمام مالك، ج2/348: س: ما قولكم في رجل جرى على لسانه سب الدين ( أي دين الإسلام ) من غير قصد ( أي من غير قصد الخروج من الدين) هل يكفر ؟ فأجبت بما نصه : الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله، نعم ارتد، وفي المجموع ولا يعذر بجهل.اهـ
Syekh Muhammad Illaisy dalam kitab Fath al-‘Aliy al-Malik Fi al-Fatwa ‘Ala Madzhab al-Imam Malik, j. 2, h. 348, juga berkata: “Soal: Apa pendapat tuan tentang seseorang yang dengan lidahnya mengucapkan kata-kata cacian terhadap agama (agama Islam) tanpa ia bertujuan untuk keluar dari Islam itu sendiri, apakah karenanya ia menjadi kafir? Aku Jawab; --Segala puji bagi Allah, shalawat dalam semoga selalu tercurah atas tuan kita; Muhammad Rasulullah--, Benar, orang itu tersebut telah menjadi kafir. Dan dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa seseorang tidak dimaafkan walaupun ia bodoh --dalam msalah ini--”.
الشافعية

قال الإمام يحيى بن شرف النووي الشافعي (ت 676 هـ ) في كتاب منهاج الطالبين وعمدة المفتين، ص/293، ما نصه:" كتاب الردة: هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادًا أو اعتقادًا " اهـ

Penjelasan Para Ulama Madzhab Syafi'i

Al-Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i (w 676 H) dalam kitab Minhaj ath-Thalibin Wa ‘Umdah al-Muftin, h. 293, berkata: “Kitab tentang riddah/kufur. Ridah adalah memutuskan Islam, baik karena niat, karena perbuatan, atau karena perkataan, dan sama halnya ia mengatakannya untuk tujuan menghinakan, atau karena mengingkari, dan atau karena meyakini (kata-kata kufur tersebut”.

وقال أيضا في الروضة ج10/52 :" وقال أي الشافعي في موضع إذا أتى بالشهادتين صار مسلما"اهـ وقال في كتاب الكفارات ج8/282:" المذهب الذي قطع به الجمهور أن كلمتي الشهادتين لا بد منهما ولا يحصل الإسلام إلا بهما "اهـ
Dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, j. 10, h. 52, al-Imam an-Nawawi berkata: “Di suatu bagian (tulisannya); Imam Syafi’i berkata bahwa orang murtad ini bila mendatangkan/mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia menjadi muslim”.

Dalam kitab al-Kaffarat, j. 8, h. 282, al-Imam an-Nawawi berkata: “Pandapat yang telah ditetapkan oleh para ulama bahwa dua kalimat syahadat wajib didatangkan/diucapkan oleh seorang yang murtad, dan bahwa ia tidak menjadi muslim kembali kecuali dengan dua kalimat syahadat ini”.
وقال الشيخ تقي الدين أبو بكر بن محمد الحصني الشافعي من أهل القرن التاسع الهجري في "كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار" ص/200، ما نصه: فصل في الردة: وفي الشرع الرجوع عن الإسلام إلى الكفر وقطع الإسلام، ويحصل تارة بالقول وتارة بالفعل وتارة بالاعتقاد، وكل واحد من هذه الأنواع الثلاثة فيه مسائل لا تكاد تحصر، فنذكر من كل نبذة ما يعرف بها غيره: أما القول: ولو سب نبيا من الأنبياء أو استخف به، فإنه يكفر بالإجماع. ولو قال لمسلم يا كافر بلا تأويل كفر، لأنه سمى الإسلام كفرا. وأما الكفر بالفعل فكالسجود للصنم والشمس والقمر وإلقاء المصحف في القاذورات والسحر الذي فيه عبادة الشمس. ولو فعل فعلا أجمع المسلمون على أنه لا يصدر إلا من كافر، وإن كان مصرحا بالإسلام مع فعله. وأما الكفر بالاعتقاد فكثير جدا فمن اعتقد قدم العالم أو حدوث الصانع أو اعتقد نفي ما هو ثابت لله تعالى بالإجماع أو أثبت ما هو منفى عنه بالإجماع كالألوان والاتصال والانفصال كان كافرا، أو استحل ما هو حرام بالإجماع، أو حرم حلالا بالإجماع أو اعتقد وجوب ما ليس بواجب كفر أو نفى وجوب شىء مجمع عليه علم من الدين بالضرورة كفر ..النووي جزم في صفة الصلاة من شرح المهذب بتكفير المجسمة، قلت: وهو الصواب الذي لا محيد عنه إذ فيه مخالفة صريح القرءان"اهـ.
Syekh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad al-Hushni asy-Syafi’i, salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i yang hidup di abad sembilan (9) hijriyah, dalam kitab Kifayah al-Akhyar Fi Hall Ghayah al-Ikhtishar, h. 200, berkata: “Pasal; Tentang riddah. Riddah dalam pengertian syari’at adalah kembali dari Islam kepada kufur, dan memutuskan Islam tersebut. Riddah ini kadang terjadi karena ucapan, kadang karena perbuatan, dan kadang karena kayakinan. Setiap satu bagian dari tiga macam kufur ini memiliki cabang/contoh yang sangat banyak sekali tidak terhingga, berikut ini kita sebutkan beberapa contoh supaya kita bisa mengetahui contoh-contoh lainnya yang serupa dengannya yang tidak kita sebutkan di sini. Kufur perkataan contohnya seorang yang mencaci-maki salah seorang Nabi dari para Nabi Allah (yang telah disepakati kenabiannya), dan atau merendahkannya; maka orang ini telah kafir dengan kesepakan ulama (ijma’). Contoh lainnya bila seseorang berkata kepada sesama muslim tanpa memiliki takwil (tanpa alasan yang dapat dibenarkan dalam syari’at); “Wahai orang kafir!!”, maka yang memanggil tersebut menjadi kafir, karena dengan demikian ia telah menamkan ke-Islam-an seseorang sebagai kekufuran. Kufur fi’li (kufur karena perbuatan) contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, atau melemparkan/membuang al-Qur’an di tempat yang menjijikan, dan praktek sihir dengan jalan menyembah matahari. Contoh lainnya bila ia berbuat suatu perbutan kufur yang nyata-nyata hanya dilakukan oleh orang-orang kafir; maka ia menjadi kafir, sekalipun saat melakukannya ia merasa bahwa diri seorang muslim”. Adapun kufur I’tiqadi (kufur karena keyakinan rusak) contohnya sangat banyak sekali, di antaranya seperti orang yang berkeyakinan bahwa alam ini (segala sesuatu selain Allah) tidak memiliki permulaan, atau menafikan/mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bagi Allah (seperti sifat wujud [Allah maha ada], qidam [tanpa permulaan], baqa’ [tanpa penghabisan], sama’ (bahwa Allah maha mendengar], dan lainnya), atau sebaliknya menetapka sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati ketiadaannya dari Allah; seperti warna, menempel, berpisah (dan berbagai sifat benda lainnya); maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila ia menghalalkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati keharamannya (seperti zina, membunuh tanpa hak, mencuri, dan lainnya), atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kehalalannya (seperti nikah, jual beli, dan lainnya), atau berkeyakinan wajib terhadap sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati bukan sebagai perkara wajib; maka orang ini telah menjadi kafir. Contoh lainnya bila seseorang mengingkari sesuatu yang secara ijma’ telah disepakati kewajibannya serta telah diketahui kewajiban tersebut oleh seluruh orang Islam (seperti shalat lima waktu); maka ia telah menjadi kafir. Kemudian Imam an-Nawawi dalam kitab Syarah al-Muhadz-dzab dalam menjelasan tatacara shalat bahwa kaum Mujassimah (kaum yang mengatakan bahwa Allah adalah benda; memiliki bentuk dan ukuran) adalah orang-orang yang harus dikafirkan. Aku (Abu Bakr al-Hushni) katakan; Inilah kebenaran yang tidak dapat diganggugugat (artinya bahwa kaum Mujassimah adalah orang-orang kafir), oleh karena keyakinan demikian sama saja dengan menyalahi al-Qur’an (yang telah jelas menetapkan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya)”.
وقال الإمام الشافعي (ت204هـ) في كتابه الأم ج6/160، في باب حال المرتد وزوجة المرتد:" وإذا ارتد الرجل عن الإسلام وله زوجة، أو أمراة عن الإسلام ولها زوج... لا تقع الفرقة بينهما حتى تمضي عدة الزوجة قبل يتوب ويرجع إلى الإسلام فإذا انقضت عدتها قبل يتوب فقد بانت منه ولا سبيل له عليها وبينونتها منه فسخ بلا طلاق"اهـ
Al-Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), Imam perintis madzhab Syafi’i, dalam kitab al-Umm, j. 6, h. 160, dalam menjelaskan keadaan/hukum seorang yang murtad dan istri seorang yang murtad, berkata: “Jika seseorang menjadi murtad/keluar dari Islam dan ia memiliki istri, atau jika seorang perempuan keluar dari Islam dan ia memiliki seorang suami; maka pasangan ini menjadi terpisahkan (artinya secara otomatis manjadi rusak tali pernikahannya). Dan bila yang murtad ini kembali masuk Islam sebelum habis masa iddah --istrinya-- (yaitu 3 kali suci) maka keduanya kembali menjadi pasangan suami istri (tanpa harus membuat akad nikah yang baru). Namun bila salah satunya belum masuk Islam kembali hingga habis masa iddah --si istri-- (yaitu 3 kali suci); maka terpisahlah antara pasangan suami istri ini, dan pisah di sini karena rusak (tali pernikahannya) bukan karena talaq/cerai”. (Penjelasan; Bila salah satunya masuk Islam kembali setelah habis masa iddah lalu hendak membangun rumah tangga kembali maka harus membuat akad nikah yang baru).
وقال تاج الدين السبكي (ت771 هـ) في طبقاته ج1/91 ما نصه:" ولا خلاف عند الأشعري وأصحابه بل وسائر المسلمين أن من تلفظ بالكفر أو فعل أفعال الكفر أنه كافر بالله العظيم مخلد في النار وإن عرف قلبه " اهـ.
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab ibn Ali as-Subki (w 771 H) dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra, j. 1, h. 91, berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat antara Imam al-Asy’ari dan para ulama pengikutnya, bahkan tidak ada perbedaan pendapat di antara segenap orang Islam bahwa seorang yang berkata-kata kufur atau berbuat perbuatan kufur; maka ia telah kafir kepada Allah yang Maha Agung, ia akan dikekalkan di dalam neraka, sekalipun hatinya mengingkari itu (artinya; sekali hatinya tidak berniat keluar dari Islam)”.
وقال الشيخ محمد بن عمر نووي الجاوي البنتني (ت 1316 هـ) في كتاب مراح لبيد: "{وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ} أي ومن يكفر بشرائع الله وبتكاليفه فقد بطل ثواب عمله الصالح سواء عاد إلى الإسلام أولاً "اهـ.
Syekh Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi al-Bantani (w 1316 H) dalam kitab tafsir yang dikenal dengan at-Tafsir al-Munir atau dikenal dengan Tafsir Marah Labid, menuliskan: “Firman Allah:
وَمَن يَكْفُرْ بِٱلإيمَـٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ (المائدة: 5)
“Barangsiapa kufur dengan keimanan maka menjadi sia-sialah amalannya” (QS. Al-Ma’idah: 5). Artinya, bahwa seorang yang kafir kepada syari’at-syari’at Allah dan kafir kepada ajaran-ajaran-Nya (hukum-hukum-Nya) maka manjadi sia-sia seluruh amal salehnya, sama halnya setelah itu ia kembali kepada Islam atau tidak”.
الحنابلة

قال موفق الدين عبد الله بن أحمد ابن قدامة المقدسي الحنبلي (ت 620 هـ) في كتاب المقنع، صحيفة 307، ما نصه:"باب حكم المرتد: وهو الذي يكفر بعد إسلامه . فمن أشرك بالله أو جحد ربوبيته أو وحدانيته أو صفة من صفاته او اتخذ لله صاحبة أو ولدا أو جحد نبيا أو كتابا من كتب الله تعالى أو شيئا منه أو سب الله تعالى أو رسوله كفر. ومن جحد وجوب العبادات الخمس أو شيئا منها أو أحل الزنا أو الخمر أو شيئا من المحرمات الظاهرة المجمع عليها لجهل عرّف ذلك، وإن كان ممن لا يجهل ذلك كفر .

Penjelasan Para Ulama Madzhab Hanbali
Syekh Muwaffaquddin Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (w 620 H), dalam kitab al-Mughni, h. 307, berkata: “Bab hukum orang murtad. Orang murtad ialah orang yang menjadi kafir setelah Islam. Maka barangsiapa menyekutukan Allah, atau mengingkari ketuhanan-Nya, atau keesaan-Nya (artinya bahwa Allah tidak menyerupai segala apapun dari makhluk-Nya), atau mengingkari salah satu sifat-dari sifat-sifat-Nya, atau menjadikan bagi-Nya seorang istri, atua seorang anak, atau mengingkari seorang Nabi (yang telah disepakati kenabiannya), atau mengingkari salah satu kitab dari kitab-kitab Allah (yang diturunkan kepada sebagian Nabi-Nya), atau mengingkari sesuatu yang (nyata) sebagai bagian dari kitab-Nya tersebut, atau mencaci-maki Allah, atau mencai-maki Rasul-Nya; maka orang tersebut telah menjadi kafir. Dan barangsiapa mengingkari kewajiban shalat lima waktu, atau sesuatu yang jelas merupakan bagian dari shalat lima waktu tersebut, atau menghalalkan perbuatan zina, atau khamar, atau menghalalkan beberapa perkara yang nyata sebagai perkara-perkara haram dan telah disepakati tentang keharamannya; maka jika karena (benar-benar) bodoh maka harus diajarkan kepadanya, namun jika ia telah tahu maka ia menjadi kafir”.
وقال الفقيه الحنبلي منصور بن إدريس البهوتي (ت 1051 هـ) في كتاب شرح منتهى الإرادات، ج3/386 ، ما نصه:" باب حكم المرتد، وهو لغة الراجع ،..وشرعا من كفر ولو مميزا بنطق أو اعتقاد أو فعل أو شك طوعا ولو كان هازلا بعد إسلامه "اهـ.
Syekh Manshur ibn Idris al-Buhuti, salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanbali (w 1051 H), dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat, j. 3, h. 386 H, berkata: “Bab hukum seorang murtad. Murtad dalam makna bahasa adalah seorang yang kembali (dari Islam). Dan menurut syari’at adalah seorang yang menjadi kafir; walaupun ia seorang yang berumur mumayyiz, yang kekufurannya tersebut terjadi karena kata-kata, keyakinan (rusak), perbuatan, atau karena ia ragu-ragu; yang itu semua terjadi tanpa adanya paksaan, walaupun itu semua terjadi pada dirinya dan dia dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
وقال أيضا في كشاف القناع عن متن الاقناع ج6/178 ما نصه: "وتوبة المرتد إسلامه بأن يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ... وهذا يثبت به إسلام الكافر الأصلي فكذا المرتد"اهـ
Dalam kitab Kasy-syaf al-Qina’ ‘An Matn al-Iqna’, j. 6, h. 178, Syekh al-Buhuti berkata: “Taubat seorang yang murtad adalah dengan masuk Islam kembali dengan mengucapkan dua kalimat syahadat (Asyhadu an La Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah). Hanya dengan jalan (mengucapkan dua syahadat ini) seorang kafir asli (yaitu seorang yang sebelumnya tidak pernah menjadi muslim) menjadi tetap (dianggap benar) keimananya, maka demikian pula hanya dengan jalan ini (mengucapkan dua kalimat syahadat) seorang murtad menjadi sah Islamnya”.
وقال الشيخ محمد بن بدر الدين بن بلبان الدمشقي الحنبلي (ت1083هـ) في كتاب مختصر الافادات في ربع العبادات والآداب وزيادات، ص/514 ما نصه:" فصل في المرتد: وهو من كَفَرَ ولو مميزا طوعا ولو هازلاً بعد إسلامه "اهـ.
Syekh Muhammad ibn Badriddin ibn Balibban ad-Damasyqi al-Hanbali (w 1083 H) dalam kitab Mukhtashar al-Ibadat Fi Rub’i al-‘Ibadat Wa al-Adab Wa Ziyadat, h. 514, berkata: “Pasal; Tentang hukum seorang murtad. Seorang yang murtad ialah seorang yang menjadi kafir/keluar dari Islam walaupun ia seorang yang baru berumur mumayyiz; tanpa ada yang memaksanya, walaupun kejadian kufur tersebut dalam keadaan bercanda; (maka ia menjadi kafir) setelah ia dalam Islam”.
وقال زين الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن شهاب الدين بن أحمد ابن رجب الحنبلي (ت 795 هـ) في كتاب جامع العلوم والحكم، ص/148، الحديث السادس عشر: " فأما ما كان من كفر أو ردة أو قتل نفس أو أخذ مال بغير حق ونحو ذلك فهذا لا يشك مسلم أنهم لم يريدوا أن الغضبان لا يؤاخذ به " اهـ.
Imam Zainuddin Abu al-Faraj Abdurrahman ibn Syihabiddin ibn Ahmad ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H), dalam kitam Jami’ al-‘Ulum Wa al-Hikam, h. 148, pada hadits ke 16, berkata: “...adapun perkara yang terjadi; semacam kufur, riddah/keluar dari Islam, membunuh, mencuri tanpa hak, dan semacam itu; maka perkara-perkara ini tidak ada seorang muslim-pun yang meragukan bahwa kejadian itu semua walaupun terjadi saat seseorang dalam keadaan marah maka tetap saja ia dikenakan hukuman”.

قواعد مفيدة:

قال الفقهاء :
أ - من تلفظ بكلام كفر أو فعل فعلا كفريا أو اعتقد اعتقادا كفريا، وجهل أن ما حصل منه كفر لا يعذر بل يحكم بكفره، قاله القاضي عياض المالكي والشيخ ابن حجر الهيتمي الشافعي وكذلك عدد من فقهاء الحنفية

Kaedah-Kaedah Yang Sangat Berfaedah:
Para ulama berkata:
Barangsiapa berkata-kata kufur (sharih/jelas), atau berbuat perbuatan kufur, atau meyakini keyakinan kufur; walaupun orang ini tidak mengetahui bahwa apa yang terjadi pada dirinya tersebut sebagai kekufuran maka orang seperti ini tidak dapat dimaafkan, ia tetap dihukumi telah menjadi kafir. Demikian inilah yang telah dinyatakan oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl, Ibn Hajar al-Haitami, dan berbagai ulama lainnya dari ulama madzhab Hanafi.

ب- اللفظ الصريح لا يؤول، قال حبيب بن ربيع أحد كبار المالكية:" ادعاء التأويل في لفظ صراح لا يقبل"اهـ. نقله عنه القاضي عياض في الشفا [ ج2/217 ]. وقال إمام الحرمين عبد الملك الجويني (ت478 هـ) كما في نهاية المحتاج [ ج7/414 ]: " اتفق الأصوليون على أن من نطق بكلمة الردة وزعم أنه أضمر تورية كفّر ظاهرا وباطنا "اهـ وأقرهم على ذلك. يعني إن كانت توريته بعيدة، لأن التورية القريبة تدفع التكفير عن صاحبها لكون اللفظ غير صريح.

Ucapan kufur yg jelas (sharih) tidak dapat menerima takwil. Salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab Maliki; yaitu Syekh Hubaib ibn Rabi’ berkata: “Mengaku-aku adanya takwil dalam dalam ucapan yg jelas dan nyata (sharih) maka pengakuannya tersebut tidak dapat diterima”. (Perkataan Syekh Hubaib ini dikutip oleh al-Imam al-Qadli ‘Iyadl dalam kitab asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-musthafa, juz. 2, hal. 217).

Imam al-Haramain Abd al-Malik al-Juwaini (w 478 H), sebagaimana dikutip dalam kitab Nihayah al-muhtaj, juz. 7, hal. 414, berkata: “Para ulama ahli Ushul telah sepakat bahwa apa bila ada seorang berkata2 kufur (yg jelas), walaupun ia mengaku bahwa kata2nya tersebut mengandung makna lain yg jauh (Tauriyah) maka orang tersebut dikafirkan secara zahir dan batin”. Para ulama telah sepakat tentang kekufuran orang yg mengungkapkan kata2 kufur seperti ini. Dan yg dimaksud tauriyah yg tidak dianggap dalam hal ini adalah pengakuan makna atau takwil yg sangat jauh dari makna zahirnya. Adapun tauriyah yang dianggap dekat maknanya artinya takwil tersebut masih dalam kandungan makna zahirnya maka dalam hal ini seorang yg mengungkapkannya tidak dikafirkan karena dengan demikian berarti ucapannya tersebut tidak dikategorikan ucapan yg sharih.

ج- وأما إن كان اللفظ ليس صريحا وإنما له أكثر من معنى، بعض معانيه كفري وبعضها غير كفر، لا يحكم على المتلفظ به بالكفر إلا إذا علم أنه أراد بهذا اللفظ المعنى الكفري.

Adapun jika kat2 yg diucapkannya tersebut adalah kata2 yg tidak sharih artinya kata yg mengandung banyak makna sebagian maknanya ada yg kufur, dan sebagian lainnya bukan kufur maka seorang yg mengucapkan kata2 semacam ini tidak boleh dihukumi sebagai orang kafir kecuali apa bila ia mengungkapkan kata2 tersebut dan dia bertujuan dengan kata2nya itu terhadap makna kufur, maka ia dihukumi kafir....

توبة المرتد

وأما توبة المرتد فهي الإقلاع عن الكفر فورا والنطق بالشهادتين بقول أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله، ولا ينفعه قول أستغفر الله قبل الشهادتين، كما نقل الإجماع على ذلك الإمام المجتهد أبو بكر بن المنذر المتوفى سنة 318 هـ. في كتابه الإجماع ص/144.

Taubat Orang Murtad
Adapun cara taubat bagi seorang yg murtad adalah dengan melepaskan kekufuran seketika itu pula dan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yaitu dengan mengatakan:

أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله

Tidak cukup dan tidak memberikan manfaat baginya jika ia hanya mengucapkan istigfar saja sebelum ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Ketetapan ini merupakan ijma’ (konsensus) para ulama sebagaimana telah dikutip oleh Imam Mujtahid terkemuka al-Imam Abu Bakr ibn al-Mundzir (w 318 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Ijma’, hal. 144.

نصيحة

هذا وقد عد كثير من الفقهاء كالقاضي عياض المالكي المتوفى سنة 544هـ والفقيه بدر الرشيد الحنفي المتوفى سنة 768 هـ والفقيه يوسف الأردبيلي الشافعي المتوفى سنة 799 هـ وغيرهم أشياء كثيرة في بيان الألفاظ المكفرة نقلوها عن الأئمة فينبغي الإطلاع عليها فإن من لم يعرف الشر يقع فيه.

Nasehat

Para ulama terkemuka telah mengungkapkan banyak sekali dari contoh kata-kata yang merupakan kekufuran (al-Alfazh al-kufriyyah), di antaranya al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki (w 544 H), Badr ar-Rasyid al-Hanafi; salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi (w 768 H), Yusuf al-Ardabili asy-Syafi’i; ulama terkemuka madzhab Syafi’i (w 799 H), dan para ulama terkemuka lainnya; di mana para ulama ini telah mengutip contoh kata-kata kufur tersebut dari para Imam dan Ulama terkemuka sebelumnya, dengan demikian wajib bagi kita mengenal dan mempelajari apa yang telah mereka tuliskan, karena sesungguhnya seorang yang tidak mengetahui keburukan maka mau tidak mau suatu saat ia pasti terjatuh di dalamnya.