Monday 19 August 2013

Makna Fillah Pada Hadist Yg Menjadi Rujukan



قال رسو ل الله صلي الله عليه وسلم تفكراو في الاء اي في خلق الله ولا تفكروا في الله

BERFIKIRLAH PADA CIPTAAN ALLOH JANGAN KAMU BERFIKIR TENTANG YANG DI DALAM ALLOH

اله الخلق مولانا قديم # وموصوف بأوصاف الكمال

TUHANKU ADALAH PENCIPTA YANG BERSIFAT QODIM (DAHULU) YANG MEMPUNYAI SELURUH SIFAT-SIFAT KASAMPURNAN … MAHA DEKAT MAHA MELIPUTI DAN BERSAMAAN .. TIDAK BERTEMPAT NAMUN ADA DAN WAJIBUL WUJUD ADANYA … TUHAN YANG TIDAK GHAIB / BERSEMAYAM DI ATAS ARSY , KURSI, DIATAS LANGIT … KARENA TUHANKU TIDAK TERIKAT PADA TEMPAT RUANG DAN WAKTU DAN TIDAK BISA DI QIYAS …DENGAN APAPUN KEMAHA KEKALANNYA …

Dzat wajibul wujud yang tidak di dahului sifat ADAM (tidak ada) HUDUST (baru) FANA’ (rusak) dzat yang tidak di dahului oleh sifat AWAL dan dzat yang tidak bisa di batasi oleh sifat akhir … DIAlah dzattulloh yang tidak bertempat & masa yang maha awal maha akhir maha qodim .. dzat tidak terikat ruang dan waktu yang meliputi seluruh alam (IKHATHOH) .. baik alam mulki (jasad) alam lahir DUNIA … dan alam akhirat …. serta dzat yang tidak terpisah dari mahluk-mahluknya dengan sifat MAIYAH (besertaan) serta dzat yang maha dekat terhadap mahluk-mahlukNYA (AL-AQROB) …. semua telah di jelaskan di dalam al-qur’an :
وكان الله علي كل شئ محيطا
dan adanya alloh itu maha meliputi di seluruh mahluknya (setiap perkara yang ada) … bagai mana kita tahu meliputinya alloh kepada kita semua .. di ibarat meliputinya angin kepada manusia …. tidak di luar dan tidak di dalam … meliputinya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki … terus bagaimana kita ini merasa kalo diri kita terpisah dari alloh ..???
وهو معكم اينما كنتم
adapun alloh itu menyertai seluruh mahluknya di manapun dia berada ,, inikan jawaban di mana alloh ?? alloh itu beserta kita semua dimanapun kita berada ,ketidak terbatasannya alloh itu dapat kita fahami dari sifat-sifat menyertainya pada setiap” mahluknya …. berarti alloh tidak jauh tidak dekat …. karena bagaimana kita menganggap alloh jauh kalo selalu menyertai mahluknya … bagaimana kita melihat kedekatan alloh kalo alloh itu maha meliputi pada mahluknya … semisal kita melihat pada sesuatu yang lain dari dalam / dari luar diri … melihatnya kita semua itu bersandar dari sifat BASHIROHNYA alloh , dengan kata lain aku melihat sesuatu yang sebenarnya melihat itu bukan si aku / si anu sebenarnya yang melihat itu alloh sendiri dengan sifat bashirohnya alloh sendiri … ???
ونحن اقرب اليه من حبل الوريد
dalil ini yang menunjukkan keMAHA dekatannya ALLOH pada mahluknya ” adapun alloh itu lebih dekat daripada sesuatu yang paling dekat di antara sesuatu yang paling dekat pada mahluknya” jika kita berfikir .. dekatnya lidah dengan rasa itu lebih dekat alloh dalam kenyataannya, dekatnya alloh pada sesuatu itu tidak sama dengan dekatnya sesuatu pada sesuatu .. kalo dekatnya sesuatu pada sesuatu itu masih ada kata terpisah sedang alloh tidak terpisah dan berkumpul pada sesuatu ….
Dengan ini kita bisa berfikir apakah KALAM ITU : kalam itu adalah pengertian (hidayah) yang tidak berupa huruf ,perkataan,lafadz / kalimah namun pengertian yang lahir dari setiap HIKMAH pelajaran pelajaran hidup yang kita alami ini … karena sifatnya KALAM itu tidak juz dan tidak jirim …. karena KALAM itu adalah kehendak alloh yang bersifat qodim dan azali ,,, namun tidak bertentangan dengan hukum serta pemahaman aqal indrawi semata … di ibarat rasa manis , bagaimanakah kita bisa menggambarkan rasa manis itu dengan perkataan / mencontohkan nya … dan rasa manis itu identik dengan kata gula , namun tidak semua manis itu adalah gula , bisa madu bisa yang lainya … karena KALAM itu bersifat universal (meliputi,bersamaan,dekat) yang selalu beriringan tidak terpisah tidak berkumpul (ESA)
HASIL MUFAKAT PARA ULAMA’ BAHWASANYA SIFAT ALLOH ITU FII AL DZOHIR,FII AL-BATHIN, FII AL-AWAL & FII AL-AKHIR, KARENA FIRMAN ALLOH
وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).
ومن لم يعرف بالله في الدنيا فكيف رايته في الاخرة وهي اضل سبيلا
barang siapa tidak mengerti (ma’rifat) pada alloh di dunia ,bagaimanakah dia mau melihat alloh di akhirat, itulah sebenar-benarnya tersesat dari jalan lurus.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ”
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Rosululloh shollalloohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad).
Namun lihatlah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW, teladan umat muslim justeru yang terjadi adalah kebalikannya:
قال ابو القاسم القشيري ( ولا يتاتى الايمان بالشيء الا بعد معرفته )
IMANNYA SESEORANG PADA SESUATU ITU TIDAK AKAN DATANG SETELAH MENGETAHUI HAKIKATNYA
قال ابو الحسن الاشعري ( اول ما يجب على المكلف معرفة الله ودينه ورسوله )
AWALNYA PERKARA YANG DI WAJIBKAN PADA ORANG” YANG MUKALLAF ITU MENGERTI HAKIKAT ALLOH KEMUDIAN AGAMA & UTUSANNYA
وقال ابن رسلان اول واجب على الانسان معرفة الله باستقان
KEWAJIBAN YANG PERTAMA KALI DI TETAPKAN PADA INSAN YAITU MA’RIFATULLOH
قال الغزالي: (لا تصح العبادةُ إلا بعدَ معرفةِ المعبود)
IMAM AL-GHOZALI MENJELASKAN : TIDAK SAH IBADAHNYA SESEORANG YANG BELUM MENGERTI HAQIQAT YANG DI SEMBAHNYA …..
واما ارباب البصائر فلامر عندهم بالعكس من ذالك فان الاعمال ترد للعلوم فالافضل العلوم ثم الاحوال ثم الاعمال
Adapun yang di maksud arbabul bashoir (orang-orang yang mempunyai penglihatan hati / berakal) adalah calon” khusus itu kebalikannya dari orang-orang pada umumnya … bagi mereka (orang umum) amal-amal perbuatan itu harus di kembalikan pada tingkah laku (ahlak) dan ahwal (tingkah) di kembalikan pada ilmu dan yang utama bagi mereka (arbabul bashooir) adalah mendahulukan ilmu baru berakhlaq kemudian yang terakhir baru beramal dengan perbuatan.
syeikh imam al-ghozali
قال شيخنا يحيا الانصاري الرسلاني :
اذا لم يبق عليك حركة لنفسك فكمل يقينك , واذا لم يبق لك وجودك فكمل توحيدك
Ketika geraknya anggota badanmu itu tidak tetap atas dirimu untuk dirimu (karena gerak hidup itu hak milikNya), maka sempurnalah keyaqinanmu. Dan ketika wujudmu (adamu) tidak tetap bagimu (fana’ / adam) , maka sempurnalah tauhidmu ….
اهل الباطن مع اليقين واهل الظاهر مع الايمان
Ahli batin itu bersama yaqiin dan ahli dhohir itu bersama iman
بَلِ الإنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ
Al Qiyaamah ayat 14:”akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu Aku / alloh)”(QS 75:14).
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Kepada Robb-nyalah mereka melihat.” – (QS.75:23)
Kata bashiroh ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah “Aku”. Wujud “Aku” yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan …
الانسان سري وانا سره واذا نظر الحق نظر الاسماء واذا نظر الاسماء نظر الصفات واذا نظر الصفات نظر الارواح واذا نظرالارواح نظر الحق تعلي بلا شك
Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Alloh, sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Alloh atas pengangkatan sebagai wakil Alloh, sehingga Alloh menyebut tentang “Aku” ini sebagai ruh-Ku. Sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Alloh terhadap Baitulloh …
وكلما يبين لك الا اذا خرجت عنك
وكلما أخلصت يكشف لك أنه هو لا انت تستغفر منك
wamaa yubayyinu laka taukhiduka illa idza khorojta ‘anka , wakullamaa akhlishta yaksyifu laka annahu huwa laa anta tastaghfiru minka
~=[Dan tauhidmu itu tidak akan bisa nyata bagimu kecuali kamu keluar dari dirimu sendiri]=
=[Ketika kamu dapat melepaskan dirimu darimu, maka akan tampak bagimu bahwa sesungguhny DIA adalah DIA, bukan dirimu yang mohon ampunan darimu]=~
Melihat apapun bisa mengantarkannya ingat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala .seperti penjelasan para sahabat
Saiyidina abu bakar as shiddiq ra
ما رأيت شئا الا رأيت الله قبله
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh sebelum melihatnya (sesuatu) Saidinaa utsman bin ‘affan ra
ما رأيت شئا الا رأيت الله بعده
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh sesudah melihatnya (sesuatu)Saiyidina Umar al faruqi ra
ما رأيت شئا الا رأيت الله معه
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh besertaan dengan melihatnya (sesuatu)
Saiyidina ‘ali karromallohu wajhah ra ..
ما رأيت شئا الا رأيت الله قيه
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh meliputi dalamnya (sesuatu)
قال النبي صلي الله عليه وسلم لا دينا لمن لا ايمان له ولا ايمانا لمن لا حيا ء له ولا حياء لمن لا حشعه ولا حشوع لمن لا عقل له ولا عقل لمن لا فكر له ولا فكر لمن لا صح له ولا صح لمن لا عرف له ولا عرف لمن لا اسلام له كما قال سيدنا علي كرم الله وجهه اول الدين معرفة الله
ketahuilah saudaraku Sabda rosululloh saw syarat utama untuk mengenal agama itu wajib mengenal dulu alloh nya ”alloh” dari kata AL ma’rifat dan ”ILAH” sesembahan alloh adalah kumpulan dari pada seluruh dzat,sifat dan nama diseluruh alam semesta yg menjadi asal muasal wujud kita yg menjadi awal yg tidak ada permulaan yg menjadi akhir dan tidak ada batasan yg menjadi warna dari seluruh warna yg ada yg menjadi arah dari setiap arah yg ada yg menjadi dhohir dari setiap bentuk yg ada yg menjadi batin dari setiap ghaib yg ada,
DIA yg maha dari segala yg termaha yg meliputi disetiap makhluq nya dg kebersamaannya
DIA menjadi penggerak pd setiap wujud-wujud yg ada,
DIA yg tidak bermula yg tidak pernah lalai yg maha pengasih dg segala kasih sayangnya,
 Tiada kata / kalimah yg pantas untuk menggambarkannya untuk mengumpamakannya DIA yg maha wujud dari setiap wujud yg ada karena DIA kekal dalam keabadiannya selama lamanya....

Pengertian Tentang Aturan Dalam Syari'at, Thoriqot, Ma'rifat, Haqiqat

القائم مع الشريعة تفضل عليه بالعلم والعمل والقائم بالطريقة تفضل عليه بالمجاهدة والجماعة والقائم مع المعرفة تفضل عليه بالمشاهدة والمكاشفة والقائم بالحقيقة تفضل عليه بالمنّة لله وشتَان بين العلم والعمل والجاعة والمجاهدة والمشاهدة و المكاشفة والمنة لله

AL QOOIMU MA’AS SYARI’ATI TAFADDLOLU ‘ALAIHI BIL ‘AMALI WAL AL QOOIMU BITTHORIIQOTI TAFADDOLU ‘ALAIHI BIL MUJAAHADATI WAL JAMAA’AH, WAL QOOIMU BILMA’RIFATI TAFADDOLU ‘ALAIHI BIL MUSYAAHADAH WALMUKAASYAFAH WAL QOOIMU MA’AL HAQIQOTI TAFADDOLU ‘ALAIHI BIL MINNATI, WA SYATTAANA BAINAL MUJAHADATI WAL MINNATI LILLAH

Adapun orang yang beribadah dengan syari’at itu bisa bermanfa’at jika memakai ilmu yang di amalkan, Adapun orang yang mengikuti (masuk) thoriqoh itu lebih utamanya dengan tatacara bermujahadah (sungguh-sungguh) dan berjama’ah , Adapun orang yang berubudiyah dengan MA’RIFAT itu lebih utamanya dengan menyaksikan alloh dan terbukanya beberapa rahasia hati (kasyful asror) adapun seseorang yang berubudiyah dengan HAQIQAT lebih utamanya dengan pemberian Alloh semata (Ridho) bagi alloh .dan sangatlah jauh banget perbedaannya antara Ilmu,amal,mujahadah (sungguh-sungguh) , jama’ah ,musyahadah , mukaasyafah dengan MINNAH (pemberian Alloh swt) BAGI ALLOH semata…..

الأعمال متعلق بالشريعة والطريقة متعلق بالعلم والمعرفة
متعلق بالايمان والمكاشفة والحقيقة متعلق بالله لله فقط

Adapun beberapa ‘amal itu bergantung dengan syari’at, dan thoriqoh itu bergantung pada ‘Ilmu,dan Ma’rifat amal serta ilmu itu bergantung dengan iman dan terbukanya rahasia hati, dan Hakikatnya Iman serta kasyaf itu bergantung pada ALLOH dan bagi alloh (terbukanya pengetahuan ilahiyah)

mari kita aplikasikan dengan pertanyaan UMUM SEMATA

كيف تطلب العواض على عمل هو متصدق به عليك بالواجبة ؟
أم كيف تطلب الجزاء على صدق هو مهديه إليك بالعمل ؟

“Bagaimana bisa kamu ingin meminta suatu ganti (imbalan) atas kebenaran ibadah / perbuatan wajib yang telah dilakukan, sedangkan hal itu merupakan shodaqoh yang telah Alloh berikan kepada hambanya ???.
Dan bagaimana bisa kamu meminta suatu balasan pahala atas kebenaran amalmu, sementara kita bisa melakukan segala amal ini sebab adanya pemberian anugrah dari Alloh ???
JAWABANNYA ADA PADA DIRI KALIAN MASING-MASING …. APA ITU IBADAH WAJIB & SUNNAH ???
SERTA AMAL KEBAIKAN YANG KITA LALUKAN SEHARI-HARI INI TELAH IKHLAS … SEDANG KEIKHLASAN ITU ADA SEDIKIT HARAPAN DI KEMUDIAN HARI …. ???
PEMBAGIAN AMAL SECARA GARIS BESAR
1- Ummiyyah Umniyyah adalah mengharapkan sesuatu tanpa ada usaha. Sedangkan tujuan yang diharapkan tidak akan berhasil tanpa adanya suatu usaha yang memerlukan tenaga baik itu secara bathin ataupun dlohir. Sedangkan yang dimaksud Shidqun disini ialah merupakan amal perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menetapi syarat sah ketentuanNya baik secara Ilmu & Amal.
Ketika kedua arti ini disatukan maka akan ada unsur dalam diri seseorang rasa ingin mendapatkan pahala atau pemberian dari Alloh subhanahu wata’ala atas amal yang telah dilakukannya, padahal amal tersebut adalah sebuah pemberian atau anugerah dari Alloh, jadi untuk apa kita meminta pahala kepadaNya sedangkan pekerjaan tersebut juga termasuk dari anugerah Nya. Hal ini juga sama dengan seseorang ketika ditanya tentang amal, apakah kamu ingin menjadi orang yang alim ?
jawaban yang pasti adalah INGIN.
Akan tetapi sewaktu ditanya apakah kamu mau menjadi orang yang benar- benar alim ..?
Dari pertanyaan kedua ada kalimat benar-benar yang menunjukan adanya tekanan kepada orang yang menjawab, maka dari itu hanya sebagian orang saja yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Alasan jawaban yang pertama adalah karena tidak adanya suatu beban dalam berusaha. Sedangkan alasan kedua disebabkan adanya usaha berat yang maksimal (banyak aturan) .
2- Raja’ Raja’ ialah mengharapkan sesuatu yang dibarengi adanya usaha dan terdapat konsekuensi dalam melakukan suatu perbuatan tersebut tapi dalam melakukan perbuatannya dia tidak mengharapkan pahala dalam berbentuk apapu kecuali hanya ingin bias mendekatkan diri kepada Alloh. Seperti yang dilakukan shahabat Nabi dalam mengerjakan amal yang dijanjikan Alloh,mereka melakukan dengan sungguh- sungguh…
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا (الفتح : 23)
Artinya : “Sebagai suatu sunnatulloh yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatulloh itu”. (Q.S. Al-Fath : 23)
Ayat ini menunjukan bahwasanya Alloh menegur kepada orang-orang yang menggantikan sunatulloh atau perintah Nya dengan hal yang baru, seperti yang dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang yang mempropokatori (dahwah amal) bahwasanya yang bisa mempersatukan umat islam bukanlah dari segi sholat jama’ah tapi dengan adanya organisasi seperti persatuan sepak bola, bulu tangkis dan lain-lain padahal tidak demikian,
Hadist nabi
اخبرني أبو عبيد مولى عبد الرحمن بن عوف ان ابا هريرة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لن يدخل الجنة احدا عمله قالوا ولا انت يا رسول الله قال ولا انا الا ان يتغمدني الله منه بفضل ورحمة Artinya :
“Abu ‘ubaid seorang budak Abdurrohman Bin A’uf membawa berita kepadaku sesungguhnya Abu hurairoh berkata : “Saya pernah mendengar Rasulallah bersabda : “Tidak akan masuk surga seseorang terhadap amalnya, para shohabat berkata : “Bukan engkau wahai Rosulalloh. Rosulalloh menjawab : “Bukan saya, kecuali Alloh memberika atas perbuatannya keanugerahan dan kebesaran sifat rohimNya alloh semata
Dalam hadist tersebut rasulallah mempertegas bahwasanya amal perbuatan seseorang tidak akan bisa membawanya masuk surge Alloh kecuali dengan adanya kasih sayong Alloh dan anugerah Nya.
3- Zuhud
” إنما يستوحش العباد والزهاد من كل شيئ لغيبتهم عن الله في كل شيئ فلو شهدوه في كل شيئ لم يستوحشوا من شيئ ”
“Sesungguhnya orang – orang yang tekun beribadah dan zuhud itu merasa asing dari segala sesuatu dikarenakan mereka tidak bisa menyaksikan Alloh di setiap sesuatu, jikalau mereka bisa menyaksikan Alloh ketika menemui sesuatu, maka mereka tidak akan merasa asing dari sesuatu tersebut”.
Sebagian dari orang-orang yang tekun beribadah dan zuhud ada yang menyangka bahwa untuk membersihkan qolbu (hati) mereka diperlukan ‘uzlah (mengasingkan diri) dari manusia dan gemerlapnya dunia. ‘Uzlah mereka jadikan metode untuk mempraktekkan nilai kezuhudan, kemudian mereka mencari tempat-tempat untuk ber’uzlah seperti gua, gunung dan lainya supaya terhindar dari pengaruh negatif gemerlapnya dunia. Sebenarnya, apakah ini bisa dikatakan derajat yang tinggi yang seyogyanya dipraktekkan oleh hamba-hamba Alloh yang ingin mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wa ta’ala sehingga mampu meraih derajat Abror atau shiddiqin
(درجة الأبرار والصدقين) ?
yang di maksud Zuhud bukan berarti menyepikan diri dari kesibukan memandang gemerlap dunia lahiriyah tetap bersama-sama dengan manusia namun basyiroh & hatinya selalu bersama alloh SWT . kalo mengartikan bahwa bahwa Zuhut ber’uzlah kegua-gua, dan meninggalkan keindahan-keindahan dunia tidaklah menjadi jalan utama untuk beribadah dan berzuhud yang dimaksud oleh syara’ . Bahkan itu semua akan berdampak pada hancurnya bumi ini, tidak terwujudnya bumi yang subur, bangunan -bangunan rumah dan lain-lain. Dan yang paling bahaya adalah akan dikuasainya dunia ini oleh musuh-musuh Alloh (orang-orang kafir), dan ini semua sangat bertentangan dengan apa yang difirmankan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala :
هو أنشأكم من الأرض واستعمركم فيها فاسغفروه ثم توبوا إليه جإن ربي قريب مجيب (61
“Dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya*, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud : 61)
* Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia
هو الذي جعل لكم الأرض ذلولا فامشوا في مناكبها وكلوا من رزقه صلىوإليه النشور (15
” Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (Mulk : 15). قل من حرم زينة الله التي خرج لعباده والطيبات من الرزق قل هي للذين امنوا في الحيوة الدنيا خالصة يوم القيمة كذلك نفضل الأيات لقوم يعلمون (32
” Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Alloh yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat*. ” Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.
Maksudnya: perhiasan-perhiasan dari Alloh dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia Ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
Menanggapi khilafiyah pertanyaan di atas mari kita pelajari keterangan dari ulama’ al-’aarif billah
” إنما يأسرك من الدنيا تعلقك بها لا تعاملك معها, والمطلوب منك أن تتعامل معها لا أن تتعلق بها ”
“Sesungguhnya yang bisa memenjarakan kamu adalah ketergantungan anda kepada dunia bukan interaksi (hubungan) kamu dengan dunia, dan yang menjadi tuntutan bagimu adalah supaya kamu berhubungan dengan dunia namun tidak bergantung kepadanya.” Caranya tidak lain adalah dengan menjalankan factor-faktor yang bisa mengantarkan dan membuahkan mahabbah kepada Alloh
(محبة الله).
Adapun sebab yang paling pokok adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Alloh dan muroqobah kepada-Nya serta ingat terus kepada Dzat yang memberikan anugerah nikmat-Nya kepada kita. Apabila metode ini diistiqomahkan maka akan sangat mudah untuk membuahkan nilai mahabbah yang hakiki kepada Alloh.
Ketahuilah bahwa mahabbah kepada Alloh itu sudah menjadi fitroh yang terpendam pada diri hamba-hamba Alloh, akan tetapi fitroh ini terhijab dengan adanya nafsu/sahwat yang selalu mengarahkan kepada kejelekan, akan tetapi dengan melanggengkan dzikrulloh akan tersingkaplah Mahabbah Robbaniyah
(المحبة الربانية) .
Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah kalau kita sudah cinta kepada Alloh apakah kita tidak di perbolehkan cinta kepada yang lainnya seperti halnya orang tua mencintai anaknya, suami mencintai istrinya, seorang muslim cinta kepada saudaranya ? Jawabannya adalah sesungguhnya orang yang hatinya diliputi rasa cinta kepada Alloh, maka tidak akan mungkin mencintai selain-Nya, adapun mencintai selain Alloh harus kita dasari cinta karena Alloh
(الحب في لله),
sedangkan mencintai selain-Nya dengan tidak didasari karena Alloh adalah salah satu bentuk dari syirik khofi
(الحب مع الله). Cinta kepada selain Alloh yang didasari karena Alloh
(الحب في لله)
Merupakan buah dari tauhid. Orang yang hatinya di penuhi mahabbah kepada Alloh, ia tidak memandang kepada sesuatu kecuali sesuatu tersebut mampu menjadikannya selalu ingat kepada Alloh, tidak hanya mengambil kenikmatan saja, namun dia mampu berinteraksi dengan dunia yang disertai penuhnya rasa cinta kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala. Sesungguhnya mahabbah kepada Alloh bisa menjadikan orang tersebut tidak melihat sesuatu kecuali hanya menyaksikan sifat-sifat Alloh yang indah serta rahmat-Nya yang luas. Dan maqom (derajat) ini hanyalah bisa dirasakan oleh yang selalu istiqomah dalam dzikir dan muroqobah (mendekatkan diri) kepada Alloh, derajat ini juga bisa disebut :
WAHDATUS SYUHUD (وحدة الشهود) ,
Melihat apapun bisa mengantarkannya ingat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala .
seperti penjelasan para sahabat Saiyidina abu bakar as shiddiq ra
ما رأيت شئا الا رأيت الله قبله
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh sebelum melihatnya (sesuatu)
Saidinaa utsman bin ‘affan ra
ما رأيت شئا الا رأيت الله بعده
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh sesudah melihatnya (sesuatu)
Saiyidina Umar al faruqi ra
ما رأيت شئا الا رأيت الله معه
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh besertaan dengan melihatnya (sesuatu)
Saiyidina ‘ali karromallohu wajhah ra ..
ما رأيت شئا الا رأيت الله قيه
aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali melihat alloh meliputi dalamnya (sesuatu)

KETERANGAN SELANJUTNYA MONGGO SILAHKAN DI TERUSKAN SENDIRI-SENDIRI PADA GURU MASING” &
KALO ADA YANG KURANG BERKENAN MONGGO MASUKANNYA ,,, INI HANYA SEBUAH ULASAN DARI AL-FAQIR …SEMATA DAN MENUQIL DARI BEBARAPA KITAB KARYA SUFI” TERDAHULU ,,, JIKA DALAM PENGARTIAN TAFSIR BAHASA KURANG BERKENAN KIRANYA DI MAKLUM KARENA MASIH KURANGNYA DIRI INI BELAJAR DAN MOHON DI BENARKAN ,,, BAROKALLOH FIIKUM LILLAAHI AL-’ALAMIIN

Sunday 11 August 2013

Tawassul, Tahli Dan Dzikir Untuk Orang Yang Sudah Meninggal

Apa arti tawasul dengan walinya Allah....????

Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertaqwa.

 Dalam hadits qudsi disebutkan:
ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى يمشى بها ولئن سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه
Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan, maka Aku berinya perlindungan.” (HR. Imam al-Bukhori).

Apa hukum tawasul dengan orang-orang yang dikasihi oleh Allah...????
Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma’ ulama’ kaum muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi. Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.

Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir.....????
Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah dari jama’ah yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram, lalu menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma’) atas perkara yang haram atau kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:

سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها
“Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani).

لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا
“Allah tidak menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya.” (HR.Imam al-Hakim).

ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن
“Apa yang diyakini baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik.”
Apakah ada dalil al-qur’an tentang tawasul?

Ya, ada. Adapun ayat al-Qur’an yang menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 35)

Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari wasilah (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat dari-Nya.

Apakah tawasul itu terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)....????
Tidak, karena ayat Al-Qur’an tersebut umum (‘amm) meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.
Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan), maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata “Ibtighoul wasilah” (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad “al-Wasilah” ditafsirkan dzat-dzat yang ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan.

Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma’rifat dzat-dzat itu kepada Allah SWT, allah SWT.berfirman:
(QS. An-Nisa’ : 64).
Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah “Jaa-uuka” (mereka dating kepadamu) dan “Wastaghfaro lahumurrosuulu” (dan Rasul memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat “Jaa-uuka”.

Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?
Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga umum (’amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.

Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama’ah tidak meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka yang hidup atau yang mati.

Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil, sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu.

Apa tawasul dengan orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan....????
Dalilnya sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa’ :64).

Ayat di atas adalah umum (’amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzakh. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul ma’ad menyebutkan:
عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.

“Dari Abu Sa’id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: “seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do’a:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت

Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR. Ibnu Majjah).

Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa do’a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين….إلخ

Para ulama; berkata, “ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do’a ini. Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo’a dengan do’a ini ketika hendak pegi sholat.”
Abu Nu’aimah dalam kitab al-Ma’rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم الراحمين

Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
“Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”

Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
“Dengan hak para nabi sebelumku”.

Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW?
Para ulama’ telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:
“Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.

Apa dalilnya....????
Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.

Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah hadits:
إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة

“Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata: “lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk.”

Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku sebelum Nabi Muhammad diciptakan.
Apa dalil bahwa tawasul terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:
“Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,
“Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku.”
Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?”
Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.”

Kemudian Allah berfirman: “Benar engkau hai adam. Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah al-Mansur, yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid Nabawi:
Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo’a atau menghadap Nabi SAW?”
Imam Malik berkata kepada kholifah, “Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta.”
Allah befirman:

“Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa’ :64).
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab as-Syifa’.
Bagaimana cara tawasul?

Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
* Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:
اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا….
“Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
* Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو…
“Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau…”
* Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.

Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara yang pertama?
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
“Dari Autsman bin Hunaif ra:

Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasululah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkan saya.”
Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu.”
Laki-laki itu berkata: “berdo’alah untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku.”

Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku.”
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”

Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.

Apa dalil tawasul dengan cara kedua....????
Dalilnya banyak, diantaranya:
“Dari Anas ra.ia berkata:

Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW seraya berteriak:
“Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami.

Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo’a, “Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali.
Anas berkata: “Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.
“Kemudian Beliau berdoa: “Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,” kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.

Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya.

Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa kecuali ta’at kepada-Nya.

Apa dalil tawasul yang ketiga?
Dalilnya banyak antara lain:
Dari Rabi’ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di surga.” Beliau bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” Kemudian beliau bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).
أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت
 Sesungguhnya Qotadah bin Nu’man pada waktu perang Uhud matanta terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan berkata: “mataku Ya Rasulullah.” Beliau memberinya pilihan antara sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya. Qotadah memilih agar

Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. Kemudian beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau yang mulia sehingga kembali normal seperti semula.”

Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia....????
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebutkan dalam ayat:

“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:

Dari Mu’aqqol ibn Yassar ra.: “barang siapa membaca surat yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantar kamu.” (Al-Baihaqi, Jami’us Shogir: bab Syu’abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)

Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari Utsman bin Affan ra, dia berkata:
“Ketika Rasulullah selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda, “mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi pertanyaan.” (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul Maram: 115/604)

Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia...?????
Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur’an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa (muttaqin) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah befirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali- Imron: 133-134)

Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang dzalim.
“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. A-Anfal : 60).
Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.

Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (Muttafaqu ‘alaih)
Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:

‘Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Apa hukum talqin (pengajaran) kepada mayit...???
Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:

لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

“Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)”
Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan menurut ulama madzhab Syafi’i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat At-Tabrani:
“Dari Abu Umamah ra., “Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu.

Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur’an sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. At-Thabrani)

Hadits tersebut marfu’, sekalipun dhoif, tetapi hadits ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a’mal) dan untuk mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)

Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata, “Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:

“Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: “Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan sandal-sandal kamu semua.”

Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:
“Sesungguhnya beliau bersabda: “kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada mereka.”

Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.

Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?

Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU....???
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…
Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama’ah adalah

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. 3:191)
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama’ (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut kyai NU jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama’ harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal ibtida’ (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama’ah.

Selain itu jika sighat (konteks) jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama’ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu’udan) dan berbaring (’ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama’ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?

Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama’ itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama’ itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:

“HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..” (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).

Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi’in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:
“Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah”
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:
“Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah …” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)

Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu’udan) dan berbaring (’ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:
عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم

Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.

Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.

Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama’ dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama’ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :

إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ

Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia”. (HR Muslim).

Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,

Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى

Sabda Rasulullah saw: “Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “darimana kalian?” mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,

Maka Allah bertanya: “Apa yg mereka minta”, Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan dari apa?” Malaikat berkata: “dari Api neraka”, Allah berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?” Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: “sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: “wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka,

Allah berkata: baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka

Macam-Macam Tawassul

Tawassul memiliki empat macam, tiga diantaranya disepakati kebolehannya oleh para ulama, sementara yang satu macam masih diperselisihkan, yakni ada ulama yang memperbolehkannya dan ada pula yang melarang. Tiga macam tawassul yang disepakati kebolehannya adalah:



1.      Tawassul dengan Nama-Nama Allah (Asma al-Husna)
Allah berfirman yang artinya “Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”. (Al-A’raf:180)
2.      Tawassul dengan Amal Sholeh
Tawassul ini berdasarkah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Lalu mereka bertawassul dengan amal shalih mereka masing-masing. Orang yang pertama bertawassul dengan amal shalihnya yang berupa amal bakti kepada kedua orang tuanya. Orang yang kedua bertawassul dengan rasa takutnya kepada Allah Swt saat membatalkan perbuatan zina kepada keponakannya. Sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan menjaga dan memberikan hak buruh yang ada padanya. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalangi mereka, yang pada akhirnya mereka bertiga bisa keluar dari dalam gua dengan selamat.
3.      Tawassul dengan Orang yang Masih Hidup
Sahabat Umar yang bertawassul dengan Abbas: “Diriwayatkan dari Anas bahwa ketika umat Islam berada di musim kering, maka Umar bin Khattab t meminta hujan kepada Allah dengan perantara Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi). Umar berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, kemudian Engkau beri hujan pada kami. Dan kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami”. Anas berkata: Kemudian mereka diberi hujan”. (HR. al-Bukhari)
Begitu pula Muawiyah dan Dlahhak bertawassul dengan Yazid bin Aswad (HR. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh al-Dimasyqi dengan sanad yang shahih)
4.      Tawassul dengan Orang yang Telah Wafat
Tawassul inilah yang diperselisihkan. Diantara ulama yang memperbolehkan adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Nawawi, Imam Subki, al-Qasthalani (ahli hadis), al-Hakim, al-Hafidz al-Baihaqi, al-Hafidz al-Thabrani, al-Hafidz al-Haitsami, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Karmani, al-Jazari, Ibnu al-Hajj, al-Sumhudi dan masih banyak lagi ulama lain yang memperbolehkannya. Namun ada pula sebagian kecil golongan umat Islam yang melarang tawassul semacam ini.
Berikut ini adalah dalil hadits tentang tawassul dengan orang-orang yang telah wafat: “Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa ada seorang laki-laki datang kepada (Khalifah) Utsman bin Affan untuk memenuhi hajatnya, namun sayidina Utsman tidak menoleh ke arahnya dan tidak memperhatikan kebutuhannya. Kemudian ia bertemu dengan Utsman bin Hunaif (perawi) dan mengadu kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata: Ambillah air wudlu' kemudian masuklah ke masjid, salatlah dua rakaat dan bacalah: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar hajatku dikabukan. Sebutlah apa kebutuhanmu”. Lalu lelaki tadi melakukan apa yang dikatakan oleh Utsman bin Hunaif dan ia memasuki pintu (Khalifah) Utsman bin Affan. Maka para penjaga memegang tangannya dan dibawa masuk ke hadapan Utsman bin Affan dan diletakkan di tempat duduk. Utsman bin Affan berkata: Apa hajatmu? Lelaki tersebut menyampaikan hajatnya, dan Utsman bin Affan memutuskan permasalahannya”. (HR. Al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah. Doa ini dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa, I/264, dan al-Tawassul wa al-Wasilah, II/199)
Ulama Ahli hadits al-Hafidz al-Haitsami berkata: “Dan sungguh al-Thabrani berkata (setelah al-Thabrani menyebut semua jalur riwayatnya): "Riwayat ini sahih”. (Majma’ al-Zawaid, II/565)
Perawi hadits ini, Utsman bin Hunaif, telah mengajarkan tawassul kepada orang lain setelah Rasulullah Saw wafat. Dan kalaulah tawassul kepada Rasulullah dilarang atau bahkan dihukumi syirik maka tidak mungkin seorang sahabat akan mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw.
Bahkan Utsman bin Hunaif menyaksikan sendiri ketika Rasulullah Saw mengajarkan doa Tawassul diatas sebagaimana dalam riwayat sahih berikut ini: “Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang buta datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan saya sebuah doa yang akan saya baca agar Allah mengembalikan penglihatan saya”. Rasulullah berkata: “Bacalah doa (Allahumma inni as'aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyirrahmati Ya Muhammad qad tawajjahtu bika ila Rabbi. Allahumma Syaffi'hu fiyya wa syaffi'ni fi nafsi): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat. Kemudian ia berdoa dengan doa tersebut, ia berdiri dan telah bisa melihat” (HR. Hakim dan al-Turmudzi)
Bertawassul Saat Ziarah Kubur
Berikut ini pendapat para ahli hadis tentang tawassul saat ziarah kubur:
  1. Sahabat Bilal bin Harits al-Muzani. “Dari Malik al-Dari (Bendahara Umar), ia berkata: Telah terjadi musim kemarau di masa Umar, kemudian ada seorang laki-laki (Bilal bin Haris al-Muzani) datang  ke makam Rasulullah Saw, ia berkata: Ya Rasullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, sebab mereka akan binasa. Kemudian Rasulullah datang kepada lelaki tadi dalam mimpinya, beliau berkata: Datangilah Umar…”. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Hajar, Fathul Bari, III/441. Beliau berkata: Sanadnya jayyid)
  2. Ahmad Bin Hanbal. "Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan itu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: "Tidak apa-apa" (Ahmad bin Hanbal al-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)
  3. Imam Syafi'i. "Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata bahwa: Saya mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah setiap hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123)
  4. al-Hafidz Ibnu Hajar. "al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata bahwa saya berada dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya bermimpi melihat Rasulullah Saw seolah beliau berkata kepada saya: Pergilah ke makam Yahya bin Yahya, mintalah ampunan dan berdolah kepada Allah, maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya saya melakukannya dan hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI/261)
  5. al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dan al-Hafidz al-Dzahabi. Kedua ulama ahli hadits ini menyebutkan tentang makam ulama shufi: “Ma’ruf al-Karkhi wafat pada tahun 200 H, kuburnya di Baghdad dicari berkahnya. Ibrahim al-Harabi berkata: “Makam Ma’ruf adalah obat yang mujarrab”. (Ibnu al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, II/324 dan Al-Dzhabi, Tarikh al-Islam; XIII/404, dan Siyar A’lam al-Nubala’; IX/343)
Penutup
Berdasarkan dalil dan argument para ahli hadis diatas menunjukkan bahwa Tawassul dengan berbagai macam jenisnya adalah diperbolehkan dan bukan syirik. Tentunya dengan keyakinan bahwa yang mengabulkan doa dalam Tawassul adalah Allah Swt.

Dalil-Dalil Tentang Tawassul


    Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari  nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:

A. Dalil dari alqur’an.

1.    Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :
ياأيها الذين آمنوااتقواالله  وابتغوا إليه الوسيلة
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Suat Al-Isra', 57:

 أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً  
17.
57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka [857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [857] Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Lafadl Alwasilah  dalam ayat ini adalah umum,  yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.

2. Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).

قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ.  قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
97. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilahبِمَا عَهِدَ عِندَكَDengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu (kenabian).
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.

4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

B. Dalil dari hadis.   
a. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir

Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615)
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu"

Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini  adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan  dari Ibnu Abbas  dengan redaksi :

فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi  memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.
Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

b. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.

Diriwatyatkan oleh Imam Hakim :

عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير
فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال  رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر.  (أخرجه الحاكم فى المستدرك)

Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih  dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

c. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah  meninggal.

Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :
عن أبى الجوزاء  أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)
Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung", maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk" (Riwayat Imam Darimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori  :
عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.

d. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul .
عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).

Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu, maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu", maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya". (Riwayat Ibnu Majad dll.).

Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma'qool, akan tetap Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).

Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Alafkar 1/272).

Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini  dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri  mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).

Pandangan  Para Ulama’ Tentang Tawassul
Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu.  Kadang  sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya  dengan dalil saja  tanpa harus menyartakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.


Pandangan Ulama Madzhab

Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).

Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :"Syafii ibarat matahagi bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita"
 (شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)

Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:
آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى
أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى
(العواصق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)  
"Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku"

Pandangan Imam Taqyuddin Assubuky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah  adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta  kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom  hal 160)

Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :
أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه).

Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

Pandangan Imam Syaukani

Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain ( orang sholeh),  baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal  adalah merupakan ijma’ para shohabat.

Pandangan Muhammad Bin Abdul Wahab.

Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud  Riyad  bagian ketiga  hal 68)

Dalil-dalil yang melarang tawassul
Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ  
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut: tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara; tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.

2. Surah al-Baqarah, 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ  
2. 186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.

3. Surat Jin, ayat 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً  
72. 18. Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah.
Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara.

Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan hadist.

Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid'ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.

Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para para ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.
Wallahu a'lam bissowab