Thursday 28 March 2013

Siapa yg ternyata sesat tentang membahas bid'ah

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Benarkah hadits ini bermakna :
“ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “
Simak pembahasannya di sini pakai ilmu (bukan pakai nafsu)
Ditinjau dari sisi ilmu lughoh :
- I’rab nahwunya :
من : adalah isim syart wa jazm mabniyyun ‘alas sukun fi mahalli rof’in mubtada’ wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba’dahu.
احدث : Fi’il madhi mabniyyun ‘alal fathah fii mahalli jazmin fi’lu syarth wal fa’il mustatir jawazan taqdiruhu huwa.
في : Harfu jar
امرنا : majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun ‘alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi
هذا : isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin
ما : isim mabniy fii mahhli nashbin maf’ul bih
ليس : Fi’il madhi naqish yarfa’ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa
منه : min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab’iidh
فهو : al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof’in mubtada
رد : khobar mubtada marfuu’un wa alamatu rof’ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.
Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna :” Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syare’at kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Quran dan hadits, maka perkara baru itu ditolak “
Makna tsb sesuai dengan statement imam Syafi’i yang sudah masyhur :
ما أُحدِثَ وخالف كتاباً أو سنة أو إجماعاً أو أثراً فهو البدعة الضالة، وما أُحْدِثَ من الخير ولم يخالف شيئاَ من ذلك فهو البدعة المحمودة
“ Perkara baru yang menyalahi al-Quran, sunnah, ijma’ atau atsan maka itu adalah bid’ah dholalah / sesat. Dan perkara baru yang baik yang tidak menyalahi dari itu semua adalah bid’ah mahmudah / baik “
- Istidlal ayatnya (Pengambilan dalil dari Qurannya) :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
- Istidlal haditsnya (pengambilan dalil dari haditsnya) :
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

- Balaghoh :
Dalam hadits tsb memiliki manthuq dan mafhumnya :
Manthuqnya “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang tidak bersumber dari syareat, maka dia tertolak “, misalnya sholat dengan bhsa Indonesia, mengingkari taqdir, mengakfir-kafirkan orang, bertafakkur dengan memandang wajah wanita cantik dll.
Mafhumnya : “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang bersumber dari syareat, maka itu diterima “ Contohnya sangat banyak skali sprti pembukuan Al-Quran, pemberian titik al-Quran, mauled, tahlilan, khol, sholat trawikh berjama’ah dll.

Berangkat dari pemahaman ini, sahabt Umar berkata saat mengkumpulkan orang-orang ungtuk melakukan sholat terawikh berjama’ah :
نعمت البدعة هذه “ Inilah sebaik-baik bid’ah “
Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah Ra :
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)ز
Jika semua perkara baru itu buruk, maka sahabat2 tsb tidak akan berkata demikian.

Nah sekarang kita cermati makna hadits di atas dari wahhabi salafi :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Hadits ini mereka artikan :
Pertama : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak “
Jika mreka mngartikan demikian, maka mereka sengaja membuang kalimat MAA LAITSA MINHU-nya (Yang bersumber darinya). Maka haditsnya menjadi : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا ُ فَهُوَ رَدٌّ
Kedua : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “
Jika merka mngartikan seperti itu, berarti merka dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU-nya MENJADI MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya menjadi : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا ليَْسَ مَأمُوْراً بهِ فَهُوَ رَدٌّ
Sungguh ini sebuah distorsi dalam makna hadits dan sebuah pengelabuan pada umat muslim.
Jika mereka menentang dan berdalih : “ Bukankah Rasul Saw telah memuthlakkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, ini dalilnya :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود
Maka kita jawab : Hadits tsb adalah ‘Aam Makhsus (lafadznya umum namun dibatasi) dgn bukti banyak dalil yang menjelaskannya sprti hadits 2 sahabat di atas. Maksud hadits tsb adalah setiap perkara baru yang brtentangan dgn al-quran dan hadits.
Perhatikan hadits riwayat imam Bukhori berikut :
أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:" كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟"
فقال له عمر:" هو والله خير." فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:" فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن." قال زيد:" كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم." قال:" هو والله خير" فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما .
“ Umar bin Khothtob member isayarat kpd Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ktika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata “ Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw ?” MaKA Umar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kmudian Abu bakar memrintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata “ Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunjung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Saw tdiak melakukannya ?” maka Abu bakar mnjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Abu bakar trus mngulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sbgaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “.
Coba perhatikan ucapan Umar dan Abu Bakar “ Demi Allah ini suatu hal yang baik “, ini menunjukkan bahwasanya Nabi Saw tidak melakukan semua hal yang baik, sehingga merka mngatakan Rasul Saw tidak pernah melakukannya, namun bukan berarti itu buruk.
Jika merka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “
Maka kita jawab :
Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid’ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnhya bertaqarrub pd Allah dengan mndengarkan lagu dangdutan..
Jika sahabat Abdullah bin Umar memuthlakkan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa trkecuali walaupun orang2 mengangaapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata :
بدعة ونعمت البدعة “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “
Saat beliau ditanya tentang sholat dhuha. Lebih lengkapnya :
عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:" بدعة ونعمت البدعة
“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.
Apakah pantas seorang sahabat sprti Abdullah bin Umar tidak konsisten dalam ucapannya alias pllin-plan ?? sungguh sangat jauh dr hal itu.
KESIMPULAN :
- Cara membedakan bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah adalah :
والتمييز بين الحسنة والسيئة بموافقة أصول الشرع وعدمها
“ Dengan sesuai atau tidaknya dengan pokok-pokok syari’at “.
- Orang yang mengartikan hadits :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Dengan : “ Bar angsiapa yang melakuakn hal baru maka itu tertolak “ atau “ Brangsiapa yang melakukan hal baru tanpa ada perintahnya maka ia tertolak “.
Orang yang mengartikan seperti itu, berarti ia telah berbuat bid’ah dholalah / sesat, akrena tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al-Quran, hadits maupun atsarnya..Dan telah sengaja merubah makna hadits Nabi Saw tersebut..dan kita tahu apa sangksi bagi orang yang telah berdusta atas nama Nabi Saw.

Naudzu billahi min dzaalik.

Tuesday 26 March 2013

LAGI-LAGI FIRANDA MEMBUAT ULAH

Firanda mempermainkan ayat dan hadits lagi sesuai yg di inginkan untuk mencaci para peziyarah Kubur


Sekali lagi Firanda mempermainkan Ayat dan hadits sesuai seleranya, ambisi untuk di sebut sebagai Ulama caliber dg modal yg pas2an semakin menampakkan kebodohannya, dia membicarakan tidak bolehnya aktifitas ziayaroh dg memelintir Ayat yg sesungguhnya sama sekali tidak membicarakan konteks yg dia bicarakan, mari kita lihat inilah kutipan2 ayat dari Firanda yg dia telah merasa bangga karena menurutnya dia telah menumbangkan Hujjah Ulama Kharismatik Al Habib Mundzir bin Musawa shohibul Majlis Rosulillah sebagai berikut:

( ما كان للمشركين أن يعمروا مساجد الله شاهدين على أنفسهم بالكفر أولئك حبطت أعمالهم وفي النار هم خالدون ( 17 ) إنما يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ولم يخش إلا الله فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين ( 18 ) )

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS At-Taubah : 17-18)

Itulah ayat yg di permainkan Oleh Firanda untuk mensukseskan misinya dalam memberantas orang2 yg suka ziyaroh ke Kuburan2 Wali/Nabi. Sekarang mari kita coba untuk mengungkap ada apa sebenarnya di balik ayat itu, ada pesan dan pelajaran apa sesungguhnya, kita mulai dari Tafsir Ibnu Katsir:

يقول تعالى : ما ينبغي للمشركين بالله أن يعمروا مساجد الله التي بنيت على اسمه وحده لا شريك له 

Allah Ta’ala Berfirman: tidaklah di perkenankan/ tidak di himbau Orang Musyrikin itu untuk memakmurkan Masjid yg di bangun atas Nama Allah.

Senada dg Tafsir Thobari sebagai berikut:

قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: ما ينبغي للمشركين أن يعمروا مساجد الله وهم شاهدون على أنفسهم بالكفر. يقول: إن المساجد إنما تعمر لعبادة الله فيها، لا للكفر به، فمن كان بالله كافرًا، فليس من شأنه أن يعمُرَ مساجد الله.

Berkata Abu Ja’far: Allah Ta’ala berFirman : Tidak di perkenankan kepada Musyrikin untuk memakmurkan Masjid2 Allah, sedangkan mereka terang2an dg kekufurannya. Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Masjid itu di dirikan untuk beribadah kepada Allah, bukan untuk mrngkufuriNya. Maka Barang siapa yg Kafir terhadap Allah, tiadalah bagian dirinya untuk memakmurkan MasjidNya Allah.

Jadi jelas konteks Ayat ini adalah pelarangan Bagi Orang2 Musyrik untuk tidak ikut serta dalam membangun/memakmurkan Masjid, ini sesuai dg kelanjutan Ayat tersebut yg jelas menjadi bahan pembicaraan adalah Masjidil haram, yg mana pada waktu itu telah terjadi pemindahan Kekuasaan dari Orang2 Musyrik Arab ke Tangan Rosulullah setelah Fathu Makkah.

Hal ini di pertegas dg Ayat إِنَّمَا المشركون نَجَسٌ “Sesungguhnya Orang2 Musyrik itu Najis” jadi mendekat saja ke Masjidil Haram gak boleh.

Demikian ini selaras dg kebanyakan Kitab2 Tafsir yg Mu’tabar.

Lalu kenapa setelah di tangan firanda, ayat ini di jadikan misiu untuk menembak orang2 yg suka ziyaroh Qubur? Sejak kapan dia menjadi ahli tafsir Kondang yg liberal?

Setelah sukses menampakkan permainan kanak2 diapun mengutip Hadits sebagai berikut, dan sudah biasa, makna leterleg hadits dia telan begitu saja tanpa mau mendengar dan mengamati komentar dari para ahlinya, sebagai berikut:

عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيْهِ : لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا. قَالَتْ وَلَوْلاَ ذَلِكَ لَأَبْرَزُوْا قَبْرَهُ غَيْرَ أَنِّي أَخْشَى أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
Bahwasanya Aisyah dan Abdullah bin Abbas berkata : Tatkala ajal menjemput Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau menjadikan sebuah kain (yang terbuat dari bulu domba-pen) di atas wajah beliau (karena demam yang beliau rasakan-pen), jika beliau merasa sesak maka beliaupun membuka kain tersebut dari wajahnya, –dan beliau dalam kondisi demikian-lalu beliau berkata : “Laknat Allah kepada orang-orang yahudi dan nasoro, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid-masjid”, Nabi memperingatkan dari perbuatan yang mereka lakukan. (HR Al-Bukhari no 436 dan Muslim no 531)

Berikut penjelasan dalam Kitab Fathul Bari:

 [] قوله : ( باب ما يكره من اتخاذ المساجد على القبور ) ترجم بعد ثمانية أبواب : ” باب بناء المسجد على القبر ” . قال ابن رشيد : الاتخاذ أعم من البناء ، فلذلك أفرده بالترجمة ، ولفظها يقتضي أن بعض الاتخاذ لا يكره ، فكأنه يفصل بين ما إذا ترتبت على الاتخاذ مفسدة أو لا .

Mushonnif mengatakan dalam (Bab di Makruhkannya Mengambil Masjid di atas Kuburan) Penjelasan ini mencakup 8 Bab: – “Bab pembangunan Masjid di atas Kuburan”, Ibnu Rosyid mengatakan: Al Ittikhodz (mengambil/mempergunakan/) itu maknanya lebih Umum daripada Al Bina (mendirikan), maka dg ini harus di pisah2 penjelasannya, bentuk Lafadlnya menunjukkan sesungguhnya Sebagian(tidak semuanya) mengambil/mempergunakan itu tidak di makruhkan, maka sepertinya harus di perinci apakah mengambilnya/mempergunakannya itu dg jalan tertib apa merusak.

Kemudian dalam baris berikut di jelaskan sebagai berikut ;

قوله : ( لأبرز قبره ) أي لكشف قبر النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يتخذ عليه الحائل ، والمراد الدفن خارج بيته ، وهذا قالته عائشة قبل أن يوسع المسجد النبوي ، ولهذا لما وسع المسجد جعلت حجرتها مثلثة الشكل محددة ، حتى لا يتأتى لأحد أن يصلي إلى جهة القبر مع استقبال القبلة .

Perkataan (Musti di tampakkanlah Kuburan Nabi) maksudnya di buat terbukalah Kuburan Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan tidak di buatkan sebuah penghalang/ dinding pembatas, maksudnya di kubur di luar rumah Beliau. Demikian ini adalah perkataan Sayyidah A’isyah ketika belum terjadi perluasan Masjid nabawi, oleh karenanya ketika terjadi perluasan Masjid itu di buatlah Kamar Nabi tersebut berbentuk segi tiga sebagai pembatas, sehingga tidak akan terjadi seseorang yg Sholat menghadap kea arah Kuburan itu bersamaan dg menghadap Kiblat.

Mari kita bandingkan dg komentar dari  yg lain agar dapat kita ketahui apa maksud dari Ittakhodla itu, di bawah ini terdapat dalam Kitab TuhfatulAkhwadzi Syarah Sunan Al Turmudzi  Juz 2 Hal 236 cet Darul Fikri

تنبيه: قال في مجمع البحاري: وحديث لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد كانوا يجعلونها قبلة يسجدون إليها في الصلاة كالوثن، وأما من اتخذ مسجداً في جوار صالح أو صلى في مقبرة قاصداً به الاستظهار بروحه أو وصول أثر من اثار عبادته إليه لا التوجه نحوه والتعظيم له فلا حرج فيه، ألا يرى أن مرقد إسماعيل في الحجر في المسجد الحرام والصلاة فيه أفضل انتهى

Peringatan: Berkata Mushonnif dalam Kitab Majma’ Al Bukhori: adapun maksud Hdits “Allah melaknat Orang Yahudi dan Nasrani yg mengambil/menggunakan Kuburan Para Nabinya sebagai Masjid” mereka membuat Kuburan Para Nabinya sebagai Kiblat yg mereka sujud ke padanya seperti ketika menyembah Berhala, adapun membuat Kuburan di dekat Orang Salih atau Sholat dalam pekuburan dg maksud meminta bantuan dg Ruhnya atau untuk sampainya Pahala dari Atsar Ibadah yg dia kerjakan untuk Orang Salih tersebut, bukan dalam rangka mengarahkan (Tawajjuh ini mengandung arti konsentrasi untuk menghadirkan sosok yg di tuju) dan mengagungkannya, maka seperti ini tidak mengapa. Bukankah Fakta Pesarean (Kuburan) Nabi Isma,l itu terdapat di dalam Masjidil haram, yg mana Sholat di situ adalah Lebih utama?.

Lebih detail dan jelasnya ksimak Al Syaih dahlawi dalam menjelaskan hal ini dalam Kitab Al Luma’at sebagai berikut:

قال التوربشتي هو مخرج على الوجهين: أحدهما كانوا يسجدون لقبور الأنبياء تعظيماً لهم وقصد العبادة في ذلك وثانيهما أنهم كانوا يتحرون الصلاة في مدافن الأنبياء والتوجه إلى قبورهم في حالة الصلاة والعبادة لله نظراً منهم أن ذلك الصنيع أعظم موقعاً عند الله لاشتماله على الأمرين: عبادة والمبالغة في تعظيم الأنبياء، وكلا الطريقين غير مرضية، وأما الأول فشرك جلي، وأما الثانية فلما فيها من معنى الاشراك بالله عز وجل وإن كان خفياً. والدليل على ذم الوجهين قوله صلى الله عليه وسلّم: اللهم لا تجعل قبري وثناً، اشتد غضب الله على قوم اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. والوجه الأول أظهر وأشبه، كذا قال التوربشتي

Al Turbasty mengatakan: Hadist tersebut dapat di tarik dua sisi: Salah satunya adalah Mereka (Yahudi & nasrani) pada bersujud ke Kuburan Para Nabinya untuk Mengagungkan (menghormati) dan berniyyat Ibadah ketika melakukan itu semua. Yg Ke Dua adalah: Mereka (Yahudi & Nasrani) lebih memilih pekuburan Para Nabinya untuk mengerjakan sholat di sana, dan Tawajjuh ke Kuburan itu ketika Sholat dan BerIbadah.Analisa dari hal tersebut adalah fenomena yg sangat besar kepada Allah (Maksudnya kejadian yg luar biasa dalam menyekutukan Allah) karena mengandung dua perkara:

1)   Ibadah

2)    dan Keterlaluan dalam mengaungkan Nabi2. Dan kedua metode ini di larang (tidak di Ridloi) yg pertama sudah nyata sekali Syiriknya dan yg ke dua juga syirik walaupun masih dalam taraf samar.

Adapun Dalil yg menunjukkan keburukan dari arah keduanya adalah Sebuah Hadits:

“Wahai Allah janganlah Engkau jadikan Kuburanku sebagai Berhala (Yg di Ibadahi)” dan Hadits:

“Allah sangat murka kepada Orang2 yg membuat kuburan sebagai Masjid”

Sisi yg awal lebih pas untuk di jadikan Hujjah. Demikian ini perkataan Al Turbasty.

وفي شرح الشيخ: فعلم منه أنه يحرم الصلاة إلى قبر نبي أو صالح تبركاً وإعظاماً، قال وبذلك صرح النووي وقال التوربشتي وأما إذا وجد بقربها موضع بنى للصلاة أو مكان يسلم فيه المصلى عن التوجه إلى القبور فإنه في مدحة من الأمر، وكذلك إذا صلى في موضع قد اشتهر بأن فيه مدفن بنى لم ير للقبر فيه علماً ولم يكن تهده ما ذكرناه من العمل الملتبس بالشرك الخفي.

“Masih dalam penjelasan Al Turbasty, maka sudah maklum jika sholat ke Kuburan Nabi atau Orang Sholeh  itu Haram baik dalam rangka bertabarruk atau dalam Rangka Ta’dlim (Penghormatan). Kemudian Al Syaikh mengatakan demikian ini adalah penjelasan Imam Nawawi. Al Turbasty mengatakan lagi: jika ada terdapat tempat yg di situ terdapat Kuburan yg dekat dg tempat di mana di dirikan Sholat, dan terjamin untuk tidak Tawajjuh (Lihat Arti Tawajjuh di atas) kepada Kuburan, yg seperti itu adalah hal yg terpuji. . Demikian pula jika orang melakukan sholat di tempat yang sudah terkenal sebagai tempat memakamkan nabi tapi tidak melihat tanda kuburan disitu dan tidak menjerumuskannya hal-hal yang telah kami sebut dari amal yang bercampur dengan syirik khofi (maka itu termasuk perkara yang terpuji)”.

وفي شرح الشيخ مثله حيث قال: وخرج بذلك اتخاذ مسجد بجوار نبي أو صالح والصلاة عند قبره لا لتعظيمه والتوجه نحوه بل لحصول مدد منه حتى يكمل عبادته ببركة مجاورته لتلك الروح الطاهرة فلا حرج في ذلك لما ورد أن قبر إسماعيل عليه السلام في الحجر تحت الميزاب، وأن في الحطم بين الحجر الأسود وزمزم قبر سبعين نبياً، ولم ينه أحد عن الصلاة فيه انتهى. وكلام الشارحين مطابق في ذلك انتهى ما في اللمعات

Dan dalam Syarah yg berikutnya Al Syaikh mengatakan: keluar dari kontek di atas, yaitu membuat Masjid yg bertetangga dg Kuburan Nabi atau Orang Salih, dan Sholat disana tidak dalam rangka Ta’dlim dan Tawajjuh dg Nabi/Orang Salih itu, tetapi hanya dalam rangka memperoleh pertolongan darinya, sehingga dapat menyempurnakan Ibadahnya sebab Berkah kedekatannya kepada Ruh yg di sucikan it, hal demikian tidak mengapa, sehubungan dg Kabar Nabi bahwa Kuburan Nabi Isma,il itu ada di Hijir dan berada di bawah Talang Ka’bah, dan dalam reruntuhan antara Hajar Aswad dan Zam2 terdapat 70 kuburan Para Nabi, dan tidak ada satupun Orang yg melarang sholat disitu. Demikian penjelasan dari dua Orang yg saling cocok, demikian dalam Kitab Al Luma’at.

ATURAN PERJENGGOTAN DALAM ISLAM

Ya itulah judul seram pada sebuah artikel yg beredar di internet, sebenarnya saya enggan untuk membahas lebih dalam masalah Jenggot ini, sangat memalukan kan???? jika kualitas Iman dan Agama seseorang itu cuma di nilai dari lebat dan tidaknya Jenggot????

Namun apa mau dikata, tersebab dalam beberapa artikel itu cuma main terjemah, main comot Hadits aja, dan bahkan ada yg memfitnah Ulama Syafi,iyyah, terpaksa deh saya mencoba untuk sekedar menyampaikan beberapa pandangan Ulama dalam masalah ini, harapan saya agar perbedaan Indah ini jangan terkotori oleh fanatisme yg telah di jadikan sebuah ciri dalam komunitas tertentu.

Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”

Dalam lafazh lain:


خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.

Dalam lafazh lainnya lagi:


أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.[HR. Muslim no. 259]

Hadits kedua, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.”[HR. Muslim no. 260]

Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.”[HR. Bukhari no. 5893]

Hadits keempat, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.”[HR. Bukhari no. 5892]

Ulama besar Syafi’iyah, Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kesimpulannya ada lima riwayat yang menggunakan lafazh:


أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا

Semua lafazh tersebut bermakna membiarkan jenggot sebagaimana adanya.”[Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/151] Artinya menurut Imam Nawawi merapikan atau memendekkan jenggot pun tidak dibolehkan.

Sebenarnya bukan kapasitas saya untuk menafsirkan Hadits2 di atas, sebagaimana konsekwensi dari orang awam, maka sudah sewajarnya jika kita serahkan penafsiran Nas2 Agama kepada yg Ahli, berikut komentar beberapa Ulama dalam masalah ini:

Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan, dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.[/i]” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).

Menurut Imam An-Nawawi, para ‘ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz 10, hal. 350-351).

Sebagian ‘ulama tidak memberikan batasan apapun. Namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan.

Imam Malik memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ‘ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) mesti dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442).

Menurut Imam Ath-Thabari, para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya. Imam Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya pantas dan tidak merendahkan dirinya.

Dari ‘Atha dan ‘ulama-‘ulama lain, dituturkan bahwasanya larangan mencukur dan menipiskan jenggot dikaitkan dengan tasyabbuh, atau menyerupai perbuatan orang-orang kafir yang saat itu biasa memangkas jenggot dan membiarkan kumis. Pendapat ini dipilih oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar. Sedangkan Imam An-Nawawi menyatakan, bahwa yang lebih tepat adalah membiarkan jenggot tersebut tumbuh apa adanya, tidak dipangkas maupun dikurangi (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).

Pendapat Imam An-Nawawi ini disanggah oleh Imam Al-Bajiy. Beliau menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan memanjangkan jenggot adalah bukan membiarkan jenggot panjang seluruhnya, akan tetapi sebagian jenggot saja. Sebab, jika jenggot telah tumbuh lebat lebih utama untuk dipangkas sebagiannya, dan disunnahkan panjangnya serasi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah Saw memangkas sebagian dari jenggotnya, hingga panjangnya sama. Diriwayatkan juga, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar memangkas jenggot jika panjangnya telah melebihi genggaman tangan. Ini menunjukkan, bahwasanya jenggot tidak dibiarkan memanjang begitu saja –sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi–, akan tetapi boleh saja dipangkas, asalkan tidak sampai habis, atau dipangkas bertingkat-tingkat (Imam Zarqâniy, Syarah Zarqâniy, juz 4, hal. 426).

Al-Thaiyyibiy melarang mencukur jenggot seperti orang-orang A’jam (non muslim) dan menyambung jenggot seperti ekor keledai. Al-Hafidz Ibnu Hajar melarang mencukur jenggot hingga habis (Ibid, juz 4, hal. 426).

Berikut adalah naskah asli komentar para ‘Ulama di kitabnya masing2:

وله: خلافا لجمع فيهما) أي في حلق اللحية وفي الخضب، فقالوا: لا يحرمان، بل يكرهان فقط.

Dan coba komentar Imam Baydlowi ini:

وقد رد البيضاوي الفطرة في حديث الباب إلى مجموع ما ورد في معناه مما تقدم فقال : هي السنة القديمة التي اختارها الأنبياء واتفقت عليها الشرائع فكأنها أمر جبلي ينطوون عليها 

قال الحافظ : وقال عياض : يكره حلق اللحية وقصها وتحذيفها وأما الآخذ من طولها وعرضها إذا عظمت فحسن بل تكره الشهرة في تعظيمها كما يكره في تقصيرها كذا قال . وتعقبه النووي بأنه خلاف ظاهر الخبر في الأمر بتوفيرها قال : والمختار تركها على حالها وأن لا يتعرض لها بتقصير ولا غيره وكان مراده بذلك في غير النسك لأن الشافعي نص على استحبابه فيه .

 ‎[ احفوا الشوارب واعفوا اللحى ولا تشبهوا باليهود ] . ( ضعيف ) والحديث في صحيح مسلم عن ابن عمر مرفوعا به دون قوله : ولا تشبهوا باليهود . وزاد في رواية له في أوله : خالفوا المشركين . وهي عند البخاري أيضا وعند مسلم أيضا من حديث أبي هريرة مرفوعا : جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس . قلت ( أي الألباني ) : وفيه إشارة قوية إلى أن قص اللحية هو كحلقها من حيث التشبه وأن ذلك لا يجوز ز والسنة التي جرى عليها السلف من الصحابة وغيرهم إعفاؤها إلا ما زاد على القبضة ؛ فتقص الزيادة . انظر التفصيل أكثر تحت الحديث الاتي 2355 ، والحديث 6203

 yg ini dalam syarah sunan annsai:

قوله ( أحفوا الشوارب واعفوا اللحى )
المشهور قطع الهمزة فيهما وقيل وجاء حفا الرجل شاربه يحفوه كأحفى إذا استأصل أخذ شعره وكذلك جاء عفوت الشعر وأعفيته لغتان فعلى هذا يجوز أن تكون همزة وصل واللحى بكسر اللام أفصح جمع لحية قال الحافظ ابن حجر الإحفاء بالحاء المهملة والفاء الاستقصاء وقد جاءت روايات تدل على هذا المعنى ومقتضاها أن المطلوب المبالغة في الإزالة وهو مذهب الجمهور ومذهب مالك قص الشارب حتى يبدو طرف الشفة كما يدل عليه حديث خمس من الفطرة وهو مختار النووي قال النووي ،أما رواية أحفوا فمعناه أزيلوا ما طال على الشفتين . قلت وعليه عمل غالب الناس اليوم ولعل مالكا حمل الحديث على ذلك بناء على أنه وجد عمل أهل المدينة عليه فإنه رحمه الله تعالى كان يأخذ في مثله بعمل أهل المدينة فالمرجو أنه المختار والله تعالى أعلم . وإعفاء اللحية توفيرها وأن لا تقص كالشوارب قيل والمنهي قصها كصنع الأعاجم وشعار كثير من الكفرة فلا ينافيه ما جاء من أخذها طولا ولا عرضا للإصلاح .

PENTINGNYA SANAD.....!!!

Sanad sangatlah penting dalam masalah keilmuan apalagi masalah hadits. Jika tidak ada sanad, maka tidak akan trjadi hadits, karena mayoritas hadits pada zaman Nabi Saw tdk tertulis, dtrima hnya scra individu tdk scra mutawatir. Dan sanad atau isnad merupakan pondasi dari setiap ajaran agama Islam. Abdullah bin Mubarak seorg tabi’in besar berkata :


الاسناد من الدين ولو لا الاسناد لقال من شاء ما شاء


“ Sanad mrupakan bagian dari agama, jika tdk ada sanad maka siapa saja dapat mengatakan apa yg dikehendakinya “.


Imam Az-Zuhri setiap mnyampaikan hadits selalu disertai dengan sanad dan mngatakan :


لا يصلح ان يرقى السطح الا بدرجه


“ Tidak layak naik ke atap rumah kecuali dengan tangga “.


Nah imam Bukhori selain hadits-haditsnya memiliki sanad yang kuat dari 1000 (seribu) ulama lebih yang beliau temui langsung, beliau pun berguru dengan ratusan para ulama terkemuka yang ahli dalam sgala fan ilmu agama di masanya.


Poin kedua : Imam Bukhori selain mencapai prdikat Amirul mukminin fil hadits (Jabatan paling tinggi dlm ilmu hadits), juga sebagai ulama Mukharrij (penyebut hadits beserta sanad) sangat berbda jauh dengan al-Albani yang bukan muhaddits dan bukan mukharrij (karena metode takhtrijnya menyimpang dari kaidah takhrij yang sebenarnya dan ngawur), dan sungguh tak layak al-Albani disejajarkan dalam imam-imam ahli hadits.


Imam Bukhori berkata :


احفظ مائة الف حديث صحيح واحفظ مائتي الف حديث غير صحيح


“ Aku hafal 100.000 (seratus ribu) hadits shohih dan aku juga hafal 200.000 (dua ratus ribu) hadits selain shohih “.


(Lihat di kitab ; Tarikh Baghdad 2/9, Tahdzibun Nawawi 1/74 dan Siyar a’lam an-Nubala 12/402)


Hadits shohih yang beliau hafal melebihi hadits-hadits shohih yang beliau kumpulkan dalam kitabnya Jami’ shohih-nya yang hanya beliau kumpulkan sbnyak 7.397 buah hadits shohih yang berulang-ulang dan 2.067 buah hadits shohih tanpa berulang-ulang.


Kitab jami’ shohih tsb beliau tulis selama 16 tahun dan beliau terima langsung scra talaqqi (bertatap muka) dari lebih 70.000 (tujuh puluh ribu) perowi melalui penelitian yang tekun dan berhati-hati kemudian diajukan ke hadapan para gurunya di antaranya imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Ali al-Madini dll. Merka menilai keshohihannya.


Setiap akan menulis hadits beliau mandi dan sholat istikhoroh 2 roka’at terlebih dahulu dan tidak menulisnya kecuali hadits yang shohih, sanad yang muttasil (bersambung mata rantai perowinya), adil dan dhobith. Maka sungguh luar biasanya ilmu beliau dan sudh berpa ratus ribu kali beliau sholat istkhoroh??


Dan beliau pun menetapkan syarat-syarat dalam menilai hadits shohih yang menunjukkan sikap sangat kehati-hatian beliau dalam menjaga hadits2 Nabi Saw, di antaranya :


-          Persambungan sanad. Setiap perowi harus bertemu dan menerima periwayatan dari perowi sebelumnya scra langsung dari awal hingga akhir sanad. Artinya bertatap muka langsng dgn syaikh yg mnyampaikan periwayatan, mendengar berita yg disampaikan dan melihat apa yang dilakukan.


-          Harus orang yang adil yaitu org yg konsisten dlm beragama, akhlaknya baik, tdk fasiq dan mnjaga muruah.


-          Dan syarat-syarat lainnya…


Dan semua ini telah masuk dalam criteria beliau. Sedikit saya berikan contoh :


ما اخرجه البخاري قال حدثنا مسدد حدثنا معتمر قال سمعت ابي قال سمعت انس بن مالك رضى الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم بقول : اللهم اني اعوذ بك من العجز والكسل والجبن والهرم واعوذ بك من فتنة المحيا والممات واعوذ بك من عذاب القبر.


Hadits yang diriwayatkan imam Bukhori, beliau berkata memberitakan kpd kami Musaddad, memberitakan kpd kami Mu’tamir, beliau berkata ; Aku mendengar ayahku berkata ; Aku mndengar Ana bin Malik berkata; Nabi Saw bersabda “ Ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kpd-Mu dari sifat lemah, malas, penakut dan pikun. Aku mohon prlindungan pd-Mu dr fitnah hidup dan mati dan aku mohon prlindungan pd-Mu dr adzab kubur “.


Anas seorang sahabat yg mdnengar  hadits tsb dari Nabi langsung. Sulaiman bin Tharkhan ayahnya Mu’tamir menegaskan dgn kata mendengar dr Anas. Demikian jg Mu’tamir mndgar dr ayahnya tsb. Musaddad syaikh imam Bukhori jg mengaskan dgn mendngar dari Mu’tamir dan imam Bukhori pun mndengar lngsung dr gurunya tsb.


Inilah satu dari ratusan ribu sanad imam Bukhori. Demikian juga di dalam mentakhrij hadits beliau memiliki criteria syarat-syarat di atas.


Al-Albani sangat tak layak disebut Muhaddits, karena muhaddits adalah sama dengan hafidz menurut ulama mutaqoddimin yaitu orang yang telah hafal 100.000 hadits, seorang pakar hadits yg mngtahui illat-illat hadits dan istilah-istilah para muhaddtisin.


Bahkan menrut imam Subuki dalam kitabnya Ma’wid An-Ni’am selain hafal 100.000 hadits beserta sanad-sanadnya, ia juga harus mngetahui illat, nama periwayat hadits baik yang tinggi dan yg rendah, dan memahami buku induk hadits enam (Al-Kutubu As-Sittah), musnad Ahmad, Sunan Al-Baihaqi, Mu’jam Ath-Thobroni dan 1000 (seribu) juz hadits.


Bagaimana dengan Al-Albani?? Kita sudh mngetahui menurut PERSAKSIAN para ulama di zamannya mnyatakan bahwa dia tidak hafal matan- matan hadits apalagi sanad -sanadnya. Bahkan KEILMUANNYA tidak mencapai untuk menilai sebuah matan hadits kemudian meneliti rijal(para perowi)nya di kitab kitab “Al Jarh watta’diil”,sehingga berangkat dari itu semua, dia menghukumi sebuah hadits dengan menshahihkan dan mendha’ifkan nya dalam keadaan “Tidak Mengerti atau Bodoh ” bahwa sebuah hadits mempunyai jalan riwayat,syawahid (hadits lain sebagai saksi penopang)dan mutaba’at(penelusuran susulan), bahkan yang lebih parahnya dia banyak mendho’ifkan hadits yang dinilai shohih oleh imam Bukhori, seolah-olah kapasitas keilmuan imam Bukhori masih di bawah al-Albani. Padahal kita tahu kitab shohih imam Bukhori kitab yang paling menduduki peringkat nomer satu dr kitab2 hadits shohih lainnya.


Ibnu Khuzaimah brkata :


ما رايت تحت اديم السماء اعلم بحديث رسول الله صلى الله عليه و سلم و لا احفظ من محمد بن اسماعيل البخاري


“ Aku tdk melihat di bawah kolong langit seorang yang lebih mengetahui hadits Rasulullah Saw dan yang lebih hafal daripada Muhammad bin Ismail Al-Bukhori “.


Lebih tegasnya imam At-Tirmidzi berkata “


لم ار في العلل والرجال اعلم من البخاري


“ Aku tdk melihat dalam ilmu ilat (ilmu mngtahui cacat yg tersmbunyi dlm hadits) dan ilmu rijal hadits yang lebih mengetahui dari imam Bukhori ‘.


Saya berani menantang para fans Al-Albani untuk membawakan satu hadits saja dari jalur al-Albani yang sanadnya muttasil / bersambung sampai ke Rasulullah Saw.


Sebagaimana sanad saya berikut ini :


Saya Al-Faqir (Ibnu Abdillah Al-Katibiy) meriwayatkan Shohih Bukhori dengan ijazah dari Sayyid Salim bin Abdullah bin Umar Asy-Syathiri, dari gurunya sayyid Abdullah bin Sholih bin Hasyim Al-Habsyi, beliau membaca keseluruhan atau sbgaian besarnya di kubah sayyid Abu Bakar Al-Adny bin Abdullah Al-Aydrus di And, dari gurunya sayyid Muhammad bin Hadi bin Hasan As-Seggaf dari sayyid ‘Idrus bin Umar Al-Habsyi dari sayyid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal dari gurunya syaikh Ibnus Sunnah Sholih Al-Fulani, dari gurunya sayyid Ahmad bin Muhammad Al-Ujail Al-Yamani dari gurunya Mufti Makkah Qutbid diin Muhammad bin Ahmad Al-Harawi dari gurunya Abu Al-Futuh Ath-Thowusi dari gurunya Abu Yusuf Al-Harawi beliau berkata “ Telah member kabar pada kami guru kami Abdurrahman Muhammad bin Yusuf Al-Farisi Al-Furghooni, beliau berkata “ Telah memebri kabar pada kami guru kami Abu Luqman Yahya bin ‘Ammar bin Maqbali bin Syahani Al-Khutlani, beliau berkata ‘ Telah member kabar pada kami guru kami Al-Hafidz Abu Abdillah bin Yusuf bin Mathr bin Sholih Al-Farbali, beliau berkata “ Telah memberi kabar pada kami guru kami Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, telah member kabar pada kami Musaddad, telah member kabar pada kami Abdul Warits, dari Al-Ja’di dari Abi Roja dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda :


من كره من اميره شيئا فليصبر فانه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية


“ Barangsiapa yang benci sesuatu dari pimpinannya, maka hendaklah bersabar, sesungguhnya barangsiapa yang keluar dari penguasa satu jengkal, maka ia mati jahiliyah “.

QONUN ASASI NU DENGAN TEGAS MEMERANGI BID'AH DHOLALAH

NU dengan tegas menempatkan dirinya pada posisi “jalan kebenaran”.  Hal ini dapat anda lihat di dalam Qonun Asasi NU sebagai berikut:
Sementara itu segolongan orang yang terjun ke dalam lautan fitnah; memilih bid’ah dan bukan sunnah-sunnah Rasul dan kebanyakan orang mukmin yang benar hanya terpaku.

Maka para ahli bid’ah itu seenaknya memutar balikkan kebenaran, memunkarkan makruf dan memakrufkan kemunkaran.

Mereka mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertolak dari sana. Mereka tidak berhenti sampai disitu, malahan mereka mendirikan perkumpulan pada perilaku mereka tersebut. Maka kesesatan semakin jauh. Orang-orang yang malang pada memasuki perkumpulan itu. Demikian penggalan kalimat dalam Qonun Asasi NU.

Namun siapakah atau golongan manakah yang dimaksud sebagai ahli Bid’ah dalam Qonun Asasi NU tersebut...??? Mari kita merujuk pada salah satu kitab pedoman Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikarang langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari sendiri dalam kitabnya  Kitab Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Hal 9:

زعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، حاصون الناس على اتباع الشرع واجتناب البدع ، والله يشهد إنهم لكاذبون

Menganggap dirinya (salafi wahabi) melaksanakan amar makruf nahi munkar, mereccoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah maha mengetahui, bahwa mereka berbohong. (Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Hal 9)

و منهم فرقة يتبعون رأي محمد عبده و رشيد رضا ، ويأخذون من بدعة محمد بن عبد الوهاب النجدي ، وأحمد بن تيمية وتلامذيه ابن القيم الجوزي و عبد الهادي

Di antara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan rasyid Ridha. Melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab al-najdy, Ahmad bin Taimiyah serta murid-murid Ibnul Qoyyim al-jauzy dan Abdul hadi.

فحرموا ما أجمع المسلمون على ندبه ، وهو السفر لزيارة قبر رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وخالفوهم فيما ذكر وغيره

Mereka mengaharamkan hal-hal yang telah disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, seperti bepergian untuk menziarahi makam Rasulullah SAW serta berselisih dalam kesepakatan-kesepakatan lainnya.

 

قال ابن تيمية في فتاويه : وإذا لا اعتقاد أنها أي زيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم طاهة ، كان ذلك محرما بغجماع المسلمين ، فصار التحريم من الأمر المقطوع به

Bahkan Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majmu’ Fataawa-nya, “……………… dengan demikian, karena berkeyakinan (yakni mengunjungi makam rasulullah sebagai sebuah bentuk ketaatan), mereka telah jatuh pada keharaman yang telah disepakati oleh umat Muslim. Karenanya, keharaman adalah sesuatu yag mestinya ditinggalkan……………..”

قال العلامة الشيخ محمد بخيت الحنفي المطيعي في رسالته المسماة تطهير الفؤاد من دنس الإعتقاد : وهذا الفريق قد ابتلى المسلمون بكثير منهم سلفا وخلفا ، فكانوا وصمة وثلمة في المسلمين وعضوا فاسدا

Al-Allamah Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya, Tathirul Fuad min danasil I’tiqood (Pembersihan hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa, “kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun kholaf. Mereka adalah duri “dalam daging/musuh dalam selimut” yang hanya merusak keutuhan Islam.

 

يجب قطعه حتى لا يعدى الباقي ، فهو كالمجذوم يجب الفرار منهم ، فإنهم فريق يلعبون بدينهم يذمون العلماء سلفا وخلفا

Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang Lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun kholaf.

ويقولون : إنهم غير معصومين فلا ينبغي تقليدهم ، لا فرق في ذلك بين الأحياء والأموات يطعنون عليهم ويلقون الشبهات ، ويذرونها في عيون بصائر الضعفاء ، لتعمى أبصارهم عن عيوب هؤلاء

Mereka menyatakan, “para ulama bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.” Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi) ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan mereka.

 

ويقصدون بذلك إلقاء العداوة والبغضاء ، بخلولهم الجو و يسعون في الأرض فسادا ، يقولون على الله الكذب وهم يعلمون ، يزعمون أنهم قائمون بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، حاصون الناس على اتباع الشرع واجتناب البدع ، والله يشهد إنهم لكاذبون

Maksud dari propaganda ini adalah munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan atas jaringan teknologi mereka merusak tatanan masyarakat. Mereke menyebarkan kebohongan mengenai Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya melaksanakan amar makruf nahi munkar, mereccoki masyarakat dengan mengajak untuk mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah maha mengetahui, bahwa mereka berbohong.

Nah demikianlah bahwa yang dimaksud Ahli Bid’ah dalam Qonun Asasi NU tersebut sudah jelas, yaitu sebuah ajaran Pada abad ke XII Masehi faham Ibnu Taimiyah yang disebarkan dalam bentuk pratek oleh Muhamad bin abdul wahab yang terkenal dengan sebutan WAHABI [1176-1257 M.] di najd dengan mendapat bantuan iparnya yaitu Raja Muhamad bin su’ud raja ke II yang menurunkan dinasi Su’udiyah di saudi arabiyah.


Sebagaimana diketahui ayah Muhamad yang bernama Syeih Abdul wahab adalah seorang ulama yang sholeh dari golongan ahlus sunnah wal jamaah. Begitu pula saudaranya Sulaiman Al Qurdi dan syeik Muhamad Khayat Assundi dua ulama besar dimadinah Pernah mengatakan “ALLAH AKAN MENYESATKAN ANAK INI SERTA ORANG YG MENGIKUTI FAHAMNYA”.

 
MENINGGALKAN SUNNAH BUKAN BERARTI BID'AH



Tidak semua yang dilarang Rosulullah itu disimpulkan oleh para ‘Ulama sebagai hal yang haram. Saya tidak tahu bagaiman proses penggalian hadits ini sehingga menjadi keputusan hukum makruh saja bahkan ada yang memubahkan segala. Inilah Bukti bahwa meninggalkan sunnah bukan berarti bid'ah
 
Padahal, konon dibalik sorban merahnya ada sebuah statemen Lawan Sunnah adalah Bid’ah dan lawan Bid’ah adalah Sunnah. Atau bahasa loyalnya jika kita melakukan sunnah itu sama dengan meninggalkan bid’ah, dan jika kita meninggalkan sunnah berarti telah melakukan bid’ah atau telah menjadi ahlul bid'ah. Apalagi jika perbuatan itu telah jelas jelas dilarang ?

Sebelumnya saya kutipkan terlebih dahulu apa yang ditulis oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya As-Sunnah Dlam Syariat Islam oleh Yazid Abdul Qadir Jawas, hal 28-31, terbitan Pustaka Al-Kautsar sebagi berikut:

Sunnah dengan makna apa-apa yang disyari’atkan oleh Rasul-Nya adalah lawan dari bid'ah, yakni apa-apa yang baru yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Mafhum Ahlis Sunnah, hal 32, 35).

Bid’ah menurut syari’at ialah apa-apa yang diadakan oleh manusia baik perkataan maupun perbuatan di dalam agama dan syiar-syiarnya tidak ada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang  mana maksud mengerjakannya adalah untuk ta’abbud.

Sementara Al-Ustadz Abdul Hakim Abdat, dalam Risalah Bid’ahnya menukil pembagian ibadah menjadi dua macam, yakni :

Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya secara khusus dan terperinci. Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid(pembatas) jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya. Contohnya adalah, mengucapkan salam, Rasulullah r bersabda, افشواالسلامبينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum, tidak diterangkan beliau r akan batasan waktunya, bilangannya, dan tempatnya.

Ibadah Muqoyyad, yaitu ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah r. Contohnya adalah sholat, di mana banyak hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya, dan tempatnya.

Kesimpulan dari penjelasan bid'ah & sunnah  dua Ustadz diatas adalah bahwa setiap yang menyelisihi Sunnah adalah Bid’ah, namun tahukah kalian, dalam hal yang nyata nyata pelarangan itu ada dalam Hadits sahih dan didukung dengan hadits hadits yang lain, para Ulama berbeda dalam menyikapinya.

Akan saya hadirkan beberapa Hadits yang terkait pelarangan Nabi dalam meniup makanan atau minuman, sebagai berikut:

وعن أبي قتادة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : { إذا شرب أحدكم فلا يتنفس في الإناء } متفق عليه

“Dari Abi Qotadah berkata, Bersabda Rosulullah صلى الله عليه وسلم : Ketika salah satu kalian minum, janganlah menghembuskan nafas didalam wadah” (Hadits Muttafaq ‘alaih)

وعن أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه وسلم { نهى عن النفخ في الشراب ، فقال رجل : القذاة أراها في الإناء ؟ فقال : أرقها ، فقال : إني لا أروى من نفس واحد ؟ قال : فأبن القدح إذا عن فيك } رواه أحمد والترمذي وصححه

“Dari Abi Sa,id, sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم {Melarang meniupkan nafas dalam minuman, maka berkata seorang Sahabat: Saya melihat kotoran mata dalam air, maka bersabda Rosulullah: alirkan airanya, maka Sahabat itu berkata: Sesungguhnya saya ini belum merasa puas minum dari sekali nafas, Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Kalau begitu singkirkanlah dulu wadahnya itu dari mulutmu “ (HR. Ahmad, Turmudzi dan mensahihkannya)

وعن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يتنفس في الإناء أو ينفخ فيه. رواه الترمذي وصححه ألألبني

“Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melarang bernafas di dalam bejana atau melarang untuk meniup padanya.”{Shahih Sunan At-Tirmidzi no.1539 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani}

Lihatlah, hadits terakhir ini adalah kesimpulan yang dibuat oleh sahabat nabi, dan membuat laporannya dengan menggunakan kalimat “Nabi Melarang”.

Konskwensi dari Pelarangan itu jika ditinggalkan atau dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyelisihinya adalah dapat menjadikan pelakunya sebagai orang yang MELAWAN perintah. Pelanggaran Hukum ini bukan main main, karena secara tegas telah ada pelarangannya. Dan jika jatuh ditangan Hakim yang tegas, oku dikenakan pasal Melawan Sunnah Rosul dan akan menyeret pelakunya sebagai pesakitan Pelaku Bid’ah. Karena sebagaiman yang disebutkan diatas, lawan sunnah adalah bid’ah.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah kenapa para ‘Ulama kebanyakan  hanya menghukumi meniup makanan itu hanya sebatas makruh saja? Termasuk yang menghukumi makrus itu adalah Syaikh ‘Utsaimin. Jadi akan saya buktikan bahwa Meninggalkan Sunnah tidak berarti Bid’ah, simak berikut:
أن نهيه عليه الصلاة والسلام عن النفخ في الطعام والشراب ليس على سبيل أن ما تطاير فيه من اللعاب نجس وإنما هو خشية أن يتقذرة الآكل منه فأمر بالتأدب ( عمدة القاري شرح صحيح البخاري ج 4 – الصفحة 387 المؤلف : بدر الدين العيني الحنفي)

Sesungguhnya larangan nabi alaihis salam meniup makanan dan minuman bukan berarti menunjukkan semburan yang keluar dari air ludah itu najis tapi dikhawatirkan berakibat jijiknya orang yang makan, maka diperintahkan beretika didalamnya.

Satu bukti meninggalkan Sunnah tidak berarti Bid’ah, terserah jika anda kan mengasumsikan sebagai bid’ah makruhah saja.

Padahal Makruh adalah jika perbuatan itu dilakukan tidak berpahala dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Bagaimana mungkin dalam kasus meniup makanan ini yang jelas jelas meninggalkannya adalah Sunnah (sesuai hadits diatas) jika dilakukan hanya mendapat hukum makruh saja? Bukankah lawan sunnah adalah bid’ah? Dan bid’ah tempatnya diNERAKA.

Dan jika ditelusuri lagi, akan tambah bingung dan mbundet. Apakah urusan makan dan minum ini masuk urusan agama apa urusan dunia? Jika masuk dalam urusan agama, haruslah dilakukan sesuai contoh Nabi, dan yang tidak mengikuti contoh dari Nabi sama dengan melakukan bid’ah, tapi kenapa Cuma ada okum sunnah dan makruh saja dari ‘Ulama?

Jika hanya urusan Dunia saja, sesuai kaedah antum a’lamu bidunyakum, kenapa Nabi menyematkan larangan dan perintah didalamnya?

Sekarang mari kita simak penjelasan para ulama' , dan kita memulai dari dalam Kitab Nailul Author berikut ini agar semakin jelas meninggalkan Sunnah tidak berarti Bid’ah, bahkan melanggar larangan bukanlah haram:

قوله : ( فلا يتنفس في الإناء ) النهي عن التنفس في الذي يشرب منه لئلا يخرج من الفم بزاق يستقذره من شرب بعده منه أو تحصل فيه رائحة كريهة تتعلق بالماء أو بالإناء ، وعلى هذا فإذا لم يتنفس في الإناء فليشرب في نفس واحد ، قاله عمر بن عبد العزيز ، وأجازه جماعة منهم ابن المسيب وعطاء بن أبي رباح ومالك بن أنس ، وكره ذلك جماعة منهم ابن عباس ، ورواية عكرمة وطاووس وقالوا : ” هو شرب الشيطان “ [ نيل الأوطارص: 221 ]

Perkataan: (Maka janganlah bernafas dalam wadah) Pelarangan bernafas didalam wadah buat minum adalah agar air ludah tidak keluar dari mulut yang dapat menjijikkan orang yang meminum sesudahnya, atau dapat menimbulkan bau yang menyengat yang berhubungan dengan air atau wadahnya, dan atas dasar inilah tidak boleh bernafas dalam wadah dalam satu tarikan nafas, demikian ini adalah penjelasan Umar bin Abdul Aziz, dan segolongan Ulama membolehkannya (bernafas dalam wadah), diantaranya adalah Ibnu Abbas, dan satu riwayat Ikrimah dan Thowus, dan mereka bilang: “Demikian itu adalah minumnya setan” (Nailul Awtor hal 221)

قال النبي صلى الله عليه وسلم : ( إذا شرب أحدكم فلا يتنفس في الإناء ) رواه البخاري(149) ومسلم(3780) ، وفي هذا الحديث نهي للشارب أن يتنفس في الإناء الذي يشرب منه ، سواء انفرد بالشرب من هذا الإناء ، أو شاركه فيه غيره ، وهذا من مكارم الأخلاق التي علمها النبي صلى الله عليه وسلم لأمته ، لتترقى في مدارج الكمال الإنساني
Nabi bersabda: (Ketika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah) HR. Al Bukhori no 149 dan Muslim no 3780.

Dalam hadits ini Rosulullah melarang orang yang minum bernafas didalam wadah yang dipakai buat minum, sama juga ketika minumnya itu sendiri dari wadah tersebut atau ada teman lain yang meminumnya dari wadah tersebut, dan ini termasuk dari mulianya ahlak yang Rosulullah mengajarkannya kepada Ummatnya, agar meningkat dalam derajat Insan yang sempurna.

قال الحافظ ابن حجر العسقلاني في فتح الباري : “وهذا النهي للتأدب لإرادة المبالغة في النظافة ، إذ قد يخرج مع النَّفَس بصاق أو مخاط أو بخار ردئ فيكسبه رائحة كريهة فيتقذر بها هو أو غيره من شربه” انتهى .

“Berkata Al hafidl Ibnu hajar Al ‘Asqolani dalam Fathul bari: “Pelarangan ini adalah untuk Himbauan dalam hal kebersihan, karena dengan bernafas akan keluar air ludah atau ingus, atau uap yang jelek, maka akan dapat membuat bau yang tidak enak dan menjijikkan dirinya sendiri atau orang lain dari meminumnya” demikian keterangan dalam Fathul Bari.

Jika masih kurang bukti ilmiyyah meninggalkan Sunnah tidak berarti bid’ah, anda akan saya bawa pada penjelasan Ulama yang semakin membungkam anda, silahkan dilanjut bacanya:

Adapun penjelasan salah satu dari Ulama Madzhab Hanbali Syaikh Muflih Al Hambali dalam kitabnya “Al Adabu Al Syar,iyyah menjelaskan sebagi berikut:

وهذا النهي عن الأمرين للكراهة ، فمن فعلهما أو أحدهما لا يأثم إلا أنه قد فاته أجر امتثال هذه التوجيهات النبوية، كما فاته أيضاً التأدب بهذا الأدب الرفيع الذي تحبه وترضاه النفوس الكاملة )3/167)

“Pelarangan dua perkara ini adalah pelarangan makruh saja, sesiapa yang melakukan keduanya atau salah satunya tidak berdosa, kecuali memang ia telah kehilangan pahala mencontoh arahan kenabian, seperti juga ia telah kehilangan beradab mulia yang disulai oleh dan diridloi oleh jiwa yang sempurna” (Al Adabu Al Syari’ah 3/167)

Satu lagi Ulama Hambali yang membolehkan meniup makanan atau minuman ketika ada hajat, dan ini semakin memperjelaskan bukti kebenaran meninggalkan sunnah tidak berarti telah melakukan bid’ah yaitu Al Allmah Al Mardawi dalam kitab Al Inshofnya 8/328 sebagi berikut nasnya:

وإذا كانت هناك حاجة تدعو إلى النفخ في الطعام أو الشراب لتبريده ، وكان يحتاج إلى أن يأكل أو يشرب ويشق عليه أن ينتظره ليبرد ، فإن الكراهة تزول حينئذ كما صرح بذلك بعض أهل العلم “الإنصاف” (8/328)

Yang unik dari sekian Ulama adalah Al Amidi, beliau tidak memakruhkan meniup makanan yang panas, demikian nasnya:

لا يكره النفخ في الطعام إذا كان حاراً

Dalam Syarahnya terhadap kitab Riyadhusshalihin, Syaikh Sholeh Al-‘Utsaimin juga membuktikan adanya meninggalkan sunnah tidak berarti telah melakukan bid’ah, beliau berkata:

” إلا أن بعض العلماء استثنى من ذلك ما دعت إليه الحاجة ، كما لو كان الشراب حاراً ويحتاج إلى السرعة ، فرخص في هذا بعض العلماء، ولكن الأولى أن لا ينفخ حتى لو كان حاراً؛ إذا كان حاراً وعنده إناء آخر فإنه يصبه في الإناء ثم يعيده ثانية حتى يبرد”

“akan tetapi sebagian ‘Ulama mengecualikan larangan itu jika sangat dibutuhkan, seperti seseorang yang perlu makanan tersebut dalam waktu cepat maka para ulama memberika rukhshah/keringanan, tetapi yang utama adalah tidak meniupnya walaupun makanan/minuman itu panas.apabila makanan/minuman itu panas sedangkan ia memiliki bejana/wadah yang lain, maka hendaknya ia memindahkannya kewadah yang lain kemudian mengembalikannya lagi dan begitu seterusnya sampai makanan/minuman itu menjadi dingin.”

Berbeda Al Utsaimin, berbeda pula pendapat Al Munawi dalam Fidlul Qodirnya, dan ini semakin jelas lagi, dan lagi lagi jelas sekali bahwa meninggalkan sunnah tidak berarti melakukan bid’ah, sebagai berikut penjelasannya:

 
“والنفخ في الطعام الحار يدل على العجلة الدالة على الشَّرَه وعدم الصبر وقلة المروءة” “فيض القدير “(6/346) .

“Meniup dalam makanan yang panas adalah menunjukkan ketergesaan, dan ketergesaan menunjukkan keburukan dan tidak adanya kesabaran dan sedikitnya harga diri” Faidlul Qodir 3446/6.

Demikian ini adalah salah satu dari wacana saja, agar kita tidak tergesa gesa menghukumi amalan seseorang dengan serampangan, ingatlah di dunia Islam ini ada jutaan  Ulama yang masing masing memiliki karakter tersendiri dalam menyikapi sebuah hadits seperti contoh diatas. dan penjelasan diatas sebagi cukup bukti bahwa meninggalkan sunnah tidak berarti telah mengamalkan bid’ah.

Akankah setelah membaca beberpa pendapat ‘Ulama terkait Hal yang nyata nyata telah dilarang Oleh Rosulullah secara tekstual dalam beberap hadits tersebut diatas masih saja teguh memegang ego bahwa setiap yang dilarang Rosulullah adalah sunnah yang harus dikerjakan sesuai contohnya, dan yang meninggalkannya adalah sama dengan melakukan bid’ah? Saya kembalikan ke kepala masing masing, demikianlah luasnya Ilmu dalam Islam. Wallahu a’lam.......
KAJIAN KRITIS UNTUK ALBANI



الألباني يمنع سنة الجمعة القبلية قبل الجمعة و بعد الأذان بحجة أنها بدعة

Al-Albaniy Melarang Shalat Sunnah Qobliyah Jum’at Sebelum Jum’at Setelah Adzan dengan Alasan Itu adalah Bid’ah

Dalam masalah ini Al-Albaniy menentang hadits-hadits sohih, hingga dia melarang shalat sebelum Jum’at dengan argumen yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah bid’ah dan sungguh bertentangan dengan as-Sunnah. Dia telah berkata:

“Sesungguhnya shalat yang dimaksud antara adzan yang disyariatkan dan adzan yang dibuat-buat, yang mereka beri nama shalat sunnah Jum’at qobliyah tidak ada dasarnya dalam as- Sunnah dan tidak seorang pun dari para sahabat dan para imam yang mengatakannya” (Lihat kitabnya yang diberi nama Al-Ajwibah An-Nafi’ah halaman 41).

 
Jawaban:

Al-Hafizh Zainuddin Al-Iroqiy dalam Syarah At-Tirmidziy telah menyebutkan, sesungguhnya Al-Khul’iy meriwayatkan dalam fawaidnya dari Ali bin Abu Tholib r.a.,

“Bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah shalat sebelum Jum’at empat rakaat dan sesudahnya empat rakaat”. Sanadnya bagus sebagaimana yang telah disebutkan oleh Waliyuddin Al-Iroqiy (Lihat Thorhu At-Tastriib fii Syarhi At Taqriib, 3/42).
 

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Talkhishu Al-Habiir” berkata: “Faedah dalam (masalah shalat) sunnah Jum’at yang sebelumnya Ar- Rofi’iy tidak menyebutkan hadits. Hadits yang paling sohih dalam masalah ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah (Talkhishu Al-Hobiir, 2/74) dari Daud bin Rosyid dari Hafshin bin Ghiyast dari Al-A’mas dari Abu Soleh dari Abu Hurairoh dari Abu Sofyan dari Jabir. Mereka berdua berkata, “Telah datang Sulaik Al-Ghotofani sedangkan Rasulullah s.a.w. dalam keadaan berkhotbah kemudian beliau bersabda kepadanya:

أصلّيت ركعتين قبل أن تجيء؟

“Apakah kamu sudah shalat sebelum kamu datang?”
Dia berkata, “Tidak”. Beliau bersabda:

فصلّ ركعتين وتجوّز فيهما

“Maka shalatlah dua rakaat dan lakukanlah dengan ringan”.

Al-Majdu Ibnu Taimiyah dalam Al-Muntaqo berkata: sabda Rasulullah “sebelum kamu datang” adalah dalil bahwa sesungguhnya 2 rakaat itu adalah (shalat) sunnah Jum’at yang sebelumnya bukan (shalat) tahiyyatul masjid.

Al-Maziyu mengomentarinya, bahwa sesungguhnya yang betul:

أصلّيت ركعتين قبل أن تجليس؟

“Apakah kamu sudah shalat sebelum kamu duduk ? ”
Maka sebagian perawi berpendapat, dia salah membacanya. Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas disebutkan: “Nabi s.a.w. pernah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat, di antara 4 rakaat itu beliau tidak memisahkannya dengan sesuatu apapun”, sanadnya sangat lemah. Dalam bab yang sama, dari Ibnu Mas’ud dan Ali r.a. dari riwayat Ath-Thobroniy dalam “Al-Ausath”. .
Al-Hafizh Waliyuddin Al-Iroqiy berkata tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairoh r.a.: “Ibnu Majah telah meriwayatkannya dalam sunannya dengan sanad yang sohih” (Lihat Thorhu At-Tastriib fii Syarhi At Taqriib, 3/42).
 

Dia berkata dari hadits Jabir yang telah diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah : “Ayahku berkata (yakni Al-Hafizh Abdurrohim Al-Iroqiy) semoga Allah merahmatinya, berkata dalam syarah At-Tirmidziy: Dan sanadnya sohih”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathu al-Bariy, 2/426: “Dalam masalah shalat sunnah Jum’at sebelum Jum’at, sebelum ada beberapa hadits dho’if yang lainnya, yang diriwayatkan di antaranya dari Abu Hurairoh, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan lafal:

كان يصلّي قبل الجمعة ركعتين وبعدها أربعا

“Nabi s.a.w. pernah shalat sebelum Jum’at dua rokaat dan sesudahnya 4 rakaat”.
Dalam sanad hadits ini ada kedhoifan”. Kemudian dia berkata:

“Dari Ibnu Mas’ud juga At-Thobroniy meriwayatkan seperti itu. Pada sanadnya ada kedhoifan dan inqitho’ (di salah satu celah sanadnya ada salah seorang perawinya selain sahabat yang gugur atau tidak disebut), Abdurrozzak meriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud secara mauquf (hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat tidak sampai kepada Rasulullah), dan ini yang benar. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Shofiyah istri Nabi s.a.w., meriwayatkan secara mauquf seperti hadits Abu hurairoh.” (Fathu Al Bariy, 2/426)
 

Hadits Ibnu Mas’ud yang mauquf telah diriwayatkan oleh Abdurrozzak dalam karangannya dari Ma’mar, dari Qotadah: “Bahwa sesungguhnya Ibnu Mas’ud r.a. pernah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat dan sesudahnya 4 rakaat” (Mushonnaf Abdurrozak, 3/247). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkishu Al-Habiir, 2/74 mengatakan hadits ini sohih. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 1/463 telah meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Mas’ud telah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat. Abdurrozzak juga meriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Mas’ud pernah memerintahkan untuk shalat 4 rakaat sebelum Jum’at (Lihat Mushonnaf Abdurrazak, 2/427). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Ad-Diroyah fii takhriiji Ahadiitsi Al-Hidayah hal. 218 berkata: “Para perawinya tsiqoot”.

Abu Daud, Ibnu Hibban dan selain mereka meriwayatkan dari Nafi’ dia berkata: “Ibnu Umar pernah memperpanjang shalat sebelum Jum’at dan shalat 2 rakaat sesudahnya di rumahnya. Dia menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melakukan hal itu”. (HR. Abu Daud dalam susunannya: kitab sholat bab shalat setelah Jum’at, Ibnu Hibban dalam shohihnya, Al-Ihsan 4/84 dan Ibn Khuzaimah dalam shohihnya 3/168, serta Ahmad dalam musnadnya, 2/103).
Ibnu Sa’ad dalam “Ath-Thobaqoot” 4/491 telah meriwayatkan dari Yazid bin Harun dari Hammad bin Salamah dari Shoofiyah, dia telah mendengar darinya dan berkata, “Saya telah melihat Shofiyah binti Haiyiy shalat 4 rakaat sebelum keluarnya Imam dan dia shalat Jum’at bersama dengan Imam dua rokaat”.
Ibnu Abi Syaibah  telah meriwayatkan dari Abu Majaz, bahwa
sesungguhnya dia pernah shalat di rumahnya 2 rakaat pada hari Jum’at. Dari Abdulloh bin Thowus dari ayahnya sesungguhnya dia tidak datang ke masjid pada hari Jum’at hingga shalat di rumahnya 2 rakaat. Dari Al-A’masy dari Ibrohim, dia berkata, “Mereka telah shalat sebelum Jum’at 4 rakaat”, (Mushonnaf Ibnu Syaibah, 1/463).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah shalat sebelum dhuhur 2 rakaat dan sesudahnya 2 rakaat, setelah maghrib 2 rakaat di rumahnya, setelah isya’ 2 rakaat dan beliau pernah tidak shalat setelah Jum’at hingga pulang, kemudian shalat 2 rakaat” (HR. Bukhori dalam shohihnya di bawah bab shalat setelah Jum’at dan sebelumnya)
 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata (dalam Fathu Al Bariy 2/426):
“Dia tidak menyebutkan sesuatu apapun dalam masalah shalat sebelumnya, yakni sebelum Jum’at. Ibnu Al-Munir berkata dalam Al-Hasyiyah, seakan-akan dia berkata, pada asalnya antara dhuhur dan Jum’at adalah sama. Sehingga ada dalil yang menunjukkan atas yang kebalikannya karena sesungguhnya itu adalah pengganti dhuhur. Dia berkata bahwa perhatiannya dengan hukum shalat setelah Jum’at lebih banyak. Oleh sebab itu dia menyuguhkannya dalam keterangannya yang berbeda dengan kebiasaan dalam mengedepankan qobliyah dan ba’diyah”.
Kemudian dia berkata :
“Ibnu At-Tin berkata: tidak pernah terjadi penyebutan shalat sebelum Jum’at dalam hadits. Barangkali Al-Bukhoriy ingin menetapkannya, diqiyaskan (dianalogikan) kepada dhuhur. Az-Zain Ibnu Al-Munir menguatkannya, bahwa sesungguhnya yang dimaksud sama, antara Jum’at dan dhuhur dalam masalah hukum shalat sunnahnya, sebagaimana kesamaan antara imam dan ma’mum dalam kedudukan hukum. Dan yang demikian itu menuntut, bahwa sesungguhnya shalat sunnah untuk mereka berdua adalah sama. Dan yang tampak, sesungguhnya Al- Bukhoriy memberi isyarat kepada apa yang telah terjadi di dalam kaitan hadits bab tersebut, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Hibban dari jalan Ayyub, dari Nafi’. Lalu ia berkata: Ibnu Umar pernah memperpanjang shalat sebelum Jum’at dan shalat sesudahnya 2 rakaat di rumahnya dan dia menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah melakukan hal itu. Imam An-Nawawiy berhujjah dengan hadits ini dalam Al-Kholashoh, atas penetapan shalat sunnah Jum’at sebelumnya”.
Az-Zaila’iy berkata (dalam Nasbu Ar-Royan Liahaditsi Al-Hidayah, 2/207):
“Asy-Saikh Muhyiddin An-Nawawiy dalam bab ini tidak pernah meyebutkan selain hadits Abdulloh bin Mughoffal, bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w..bersabda:
بين كلّ أذانين صلاة
“Antara setiap dua adzan ada shalat”. (H.R. Bukhoriy dan Muslim).
Dia menyebutnya dalam kitab shalat dan hadits Nafi’ juga menyebutkan, dia berkata: “Ibnu Umar pernah memanjangkan shalat sebelum Jum’at dan sesudahnya shalat 2 rakaat di rumahnya dan dia menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melakukan hal itu”. Dia berkata, “Abu Daud telah meriwayatkannya dengan sanad atas syarat Al-Bukhoriy”. Dan sunnah Jum’at telah disebutkan oleh penyusun kitab tersebut di masalah i’tikaf. Lalu dia berkata, “Shalat sunnah itu sebelum Jum’at 4 rakaat dan sesudahnya 4 rakaat. Dia memberi isyarat kepadanya dalam menjangkau yang fardhu”, kemudian dia berkata: “Andai kata telah qomat dan dia dalam dhuhur atau Jum’at maka dia hendaknya memotong di ujung dua rakaat, dikatakan, “Hendaknya dia menyempurnakannya”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathu Al Bariy 2/426 berkata bahwa hadits paling kuat yang dapat dijadikan pegangan disyariatkannya 2 rakaat sebelum Jum’at, adalah keumuman hadits yang menurut Ibnu Hibban sohih dari hadits Abdulloh bin Az-Zubair secara marfu’ (hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi s.a.w.):

ما من صلاة مفروضة إلّا وبين يدين يديها ركعتان
“Tidak ada shalat fardhu (wajib) kecuali di antara dua sisinya ada dua rakaat shalat”. (HR. Ibnu Hibban dalam Shohihnya, Al-Ihsan, 4/77-78)

Dan yang sepertinya, hadits Abdulloh bin Mughoffal yang telah lewat dalam waktu shalat maghrib:
بين كلّ أذانين صلاة
“Antara tiap dua adzan ada shalat (sunnah)”. (Lihatlah Al-Ihsan bitartiibi Ibni Hibban, 2/48-49 dan 7/523.)

Ibnu Al-Arobiy Al-Malikiy dalam syarah At-Tirmidziy 2/132  berkata: “Dan adapun shalat sebelumnya, yakni Jum’at, maka sesungguhnya boleh”.
 

 Abdurrohman Syaroful Haq Al-Azhim Abadiy berkata yang konteksnya sebagai berikut: “Dan hadits itu (yakni hadits Ibnu Umar menunjukkan disyariatkannya shalat sebelum Jum’at. Yang melarangnya tidak berpegangan kecuali dengan hadits yang melarang shalat waktu zawal (yakni sebelum masuk waktu zhuhur). Padahal keumuman hadits itu dikhususkan dengan hari Jum’at. Tidak ada hadits yang menunjukkan larangan shalat sebelum Jum’at secara mutlak. Puncak pembahasan larangan shalat pada waktu zawal itu bukan merupakan arena perbantahan. Walhasil, singkat cerita sesungguhnya shalat sebelum Jum’at secara umum dianjurkan” (Aunu Al-Ma’bud alaa Sunani Abi Daud, 1/438)
 

Kemudian dia berkata : “Saya berkata, hadits Ibnu Umar yang keterangannya telah disampaikan oleh An-Nawawiy dalam “Al- Kholashoh”, sohih menurut syarat Al-Bukhoriy”. Al-Iroqiy dalam syarah At-Tirmidziy berkata: “Sanadnya sohih”. Al-Hafizh Ibnu Al- Mulaqqin dalam risalahnya berkata: “Sanadnya sohih secara pasti”. Ibnu Hibban meriwayatkannya dalam sohihnya”. (Aunu Al-Ma’bud alaa Sunani Abi Daud, 1/439)

Cukuplah beberapa contoh perbuatan sahabat besar Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dan Ummul mukminin Shofiyah binti Hayyiy r.a. untuk mensyariatkan shalat 2 rakaat sebelum Jum’at dan perbuatan Abu Majlaz (Lahiq bin Hamid) tabiin besar, Thowas bin Kaisan Al-Yamani, salah seorang pembesar (murid-murid Ibnu Abbas r.a.) dan termasuk para pemuka tabi’in serta para tsiqohnya (orang yang dipercaya telah meriwayatkan hadits-hadits sohih seperti Al-Bukhoriy dan Muslim) dan Ibrahim bin Yazid An-Nakho’iy, dia adalah tabi’in yang tsiqoh dan mufti penduduk Kufah pada masanya serta iqror (penetapan) Sufyan Ats-Tsauriy dan Ibnu Al-Mubarok yang keduanya adalah termasuk para pembesar ulama’ yang amilin (yang mengamalkan ilmu). Cukup juga rasanya ungkapan sohih yang diutarakan oleh Al- Hafizh Ats-Tsiqoh Ats-Tsabit (orang yang kredibel dari segi keilmuan) Az-Zain Al-Iroqiy guru Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy dan yang lain-lain di bidang hadits.
Dalam penutup sanggahan kami, kami sampaikan kepada Nasiruddin Al-Albaniy. Kami katakan kepadanya: “Kamu telah bertentangan dalam masalah ini dengan pimpinanmu Al-Harroniy yang Anda sebut sebagai syaikhul Islam yang telah membolehkan shalat sunnah sebelum Jum’at. Dia berkata: “Barang siapa yang melakukan itu tidak dapat disalahkan” sebagaimana yang dinukil sohibul Inshaf Al-Hanbaliy darinya (Al-Inshoof, 2/402).
Dari sanggahan yang ringkas ini, telah nyata disyariatkan shalat sunnah sebelum shalat Jum’at dari penuturan ahli ilmu dan pengetahuan. Dan dengan ini kami telah menyalahkan perkataan Al-Albaniy yang mengatakan shalat sunnah qobliyah Jum’at tidak ada dasarnya dalam sunnah yang sohih.
Dengan ini maka tampaklah keplinplanan dan perbedaan antara Al-Albaniy dan pimpinannya Al-Harroniy Ibnu Taimiyah!

BERITA FAKTA SEJARAH


Kisah Taubatnya Ibnu Taimiyah di Tangan Para Ulama Aswaja, Kemudian Kembali Menyimpang Hingga Wafatnya


Berita Fakta – Sedikit saya akan mengungkap fakta sejarah yang jarang dikupas yaitu tentang kisah taubatnya seorang figur yang menjadi cikal bakal ajaran wahhabiyah yaitu Ibnu Taimiyyah Al-Harrani. Fakta sejarah ini telah ditulis oleh banyak ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyyah bahkan di antara mereka adalah mantan murid dari Ibnu Taimiyyah, seperti Adz-Dzahabi dan Ibnu Syakir.
Para ulama yang menulis sejarah Ibnu Taimiyyah adalah orang-orang yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyyah, mereka menyaksikan, bertemu langsung dan bahkan ada yang berguru kepadanya sebelum Ibnu Taimiyyah menyimpang dari ajaran salaf kemudian membebaskan diri setelah mengetahui Ibnu Taimiyyah menyimpang dari ajaran mayoritas umat muslim. Maka mereka para ulama tersebut lebih mengetahui sejarah dan ajaran Ibnu Taimiyyah ketimbang kita dan para wahhabi sekarang ini.

Sebelumnya ada baiknya kita mengetahui sedikit komentar para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah tentang ajaran Ibnu Taimiyyah :

قال المحدث الحافظ الفقيه ولي الدين العراقي ابن الشيخ الحفاظ زين الدين العراقي : انه خرق الاجماع في مسائل كثيرة قيل تبلغ ستين مسألة بعضها في الاصول و بعضها في الفروع خالف فيها بعد انعقاد الاجماع عليها. ( الاجوبة المرضية على المسألة المكية)


Seorang Ahli Hadits yang mendapat gelar Al-Hafidz Al-Faqih, Waliyuddin Al-Iraqi bin Syaikh Al-Haffadz Zainuddin Al-Iraqi berkata ” Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah merusak mayoritas umat muslim di dalam banyak permasalahan, dikatakan mencapai 60 permasalahan sebagian mengenai akidah dan sebagian lainnya mengenai furu’. Ia telah menyalahi permasalahan-permasalahan yang telah disepakati oleh umat Islam “. (Al-Ajwibatul Mardhiyyah ‘alal mas-alatil makkiyyah)

قال الشيخ ابن حجر الهيتمي ناقلا المسائل التي خالف فيها ابن تيميه اجماع المسلمين ما نصه : وان العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله مخلوقا دائما فجعله موجبا بالذات لا فاعلا بالاختيارتعالى الله عن ذالك, وقوله بالجسمبة والجهة والانتقال و انه بقدر العرش لااصغر ولا اكبر , تعالى الله عن هذا الافتراء الشنيع القبيخ والكفر البراح الصريح. (الفتاوى الحديثية ص: ١١٦)


Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakaran umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa Alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah scra ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “.(Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)

وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم و ختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله. و كيف تجاوز هؤلاء الملحدون الحدود و تعدواالرسوم وخرقوا سياج الشربعة والحقيقة فظنوا بذالك انهم على هدى من ربهم وليسوا كذالك. (الفتاوى الحديثية ص:۲۰۳)


Beliau Syaikh Ibnu Hajar juga berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang sesat itu telah melampai batasan-batasan syare’at dan aturan, dan mereka pun juga telah merobek pakaian syare’at dan hakikat, mereka masih menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal sungguh tidaklah demikian “.(Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Seorang ulama besar Syaikh Abu Al-Hasan Ali Ad-Dimasyqi Rh berkata dari ayahnya bahwasanya belia bercerita ” Ketika kami sedang duduk di majlis Ibnu Taimiyyah, dan ia berceramah hingga sampai pada pembahasan ayat Istiwa, ia berkata ” Allah Swt beristiwa di atas arasy-Nya seperti istiwaku ini “, maka manusia kaget dan segera melompat ke arah Ibnu Taimiyyah dengan satu lompatan dan menurunkanya dari kursi kemudian orang-orang segera menampar dan memukulnya dengan sandal-sandal mereka dan selainnya. Mereka membawa Ibnu Taimiyyah ke salah satu hakim, maka berkumpullah di majlis tersebut para ulama dan mereka mulai mengintrogasinya ” Apa dalil dari yang telah engkau katakan tadi ? “, Ibnu Taimiyyah menjawab ” Firman Allah Swt ; Ar-Rahmaanu ‘alal arsyis tawaa “, maka para ulama tertawa dan tahulah mereka bahwa ibnu taimiyyah adalah orang bodoh. Yang tidak mengetahui kaidah-kaidah ilmu.



Kemudian para ulama bertanya lagi untuk memastikan urusannya ” Apa pendapatmu tentang firman Allah :

فاينما تولوا فثم وجه الله ”


Dimanapun kamu menghadap maka di sanalah wajah Allah ” ? Maka Ibnu Taimiyyah menjawab dengan jawaban yang meyakinkan bahwa ia termasuk orang bodoh yang sebenarnya, ia tidak mengetahui apa yang ia katakan dan ia telah tertipu oleh pujian orang-orang awam padanya dan beberapa para ulama jumud yang kosong dari ilmu yang berdasarkan dalil-dalil. (Al-Maqoolat As-Sunniyah : 36)

Sangat banyak kritikan para ulama Aswaja (Ahlus sunnah wal jama’ah) kepada Ibnu Taimiyyah mengenai ajaran-ajarannya yang menyimpang dari mayoritas ulama dan umat Islam, bahkan para ulama sempat mengarang kitab-kitab untuk membantaha ajaran-ajarannya dan demi menyelamatkan umat Islam dari kesesatannya.

Di antaranya :

1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).

2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.

3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.

4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali.

5. Ke empat ulama yang juga menjabat qodhi inilah yang merekomendasikan fatwa untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah. Dan sempat berpindah-pindah penjara.

6. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).

7. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. • Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh

8. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).

9. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H) • I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm.

10. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir yang wajib dibunuh”.

11. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, Syekh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.

12. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.

13. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H). • al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr. • ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah. • Syifâ’ as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm. • an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq. • Naqd al-Ijtimâ’ Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq. • at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta’lîq. • Raf’u asy-Syiqâq Fî Mas’alah ath-Thalâq.

14. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.

15. Imam al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-’Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-’Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33. • Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.

16. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).

17. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. • Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.

18. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.

19. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.

20. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.

21. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H). • Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî

22. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H). • Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq. • Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah

23. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H). • Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah

24. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H).

25. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.

26. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri. • Bayân Zaghl al-’Ilm Wa ath-Thalab. • an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.

27. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H). • Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth

28. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).

29. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan).

30. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H). • Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ

31. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H). • ‘Uyûn at-Tawârikh.

32. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H). • at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah

33. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H). • al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi’ah karya Syekh Salamah al-Azami.

34. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H). • Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.

35. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H). • al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.

36. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H). • Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.

37. Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H). • ad-Durar al-Kâminah Fî A’yân al-Mi-ah ats-Tsâminah. • Lisân al-Mizân. • Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri. • al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.

38. Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H). • al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.

39. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H). • Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.

40. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H). • Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.

41. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).

42. Al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-Lâmi’.

43. Dan masih banyak lagi ulama yang lainnya.

Sekarang marilah kita simak penuturan seorang ulama yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Syakir Al-Kutuby dalam salah satu kitab tarikhnya juz 20 yang telah diabadikan oleh seorang ulama besar dari kalangan Ahlus sunnah yang terkenal di seluruh penjuru dunia yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Astqolani dalam kitabnya ” Ad-Duroru Al-Kaaminah ” dan beliau juga penyarah kitab Shohih Bukhori yang dinamakan Fathu Al-Bari. Berikut penuturan beliau yang begitu panjang namun saya singkat dengan tanpa menghilangkan maksud tujuannya :

Sidang Pertama :


”Di tahun 705 di hari ke delapan bulan Rajab, Ibnu Taimiyyah disidang dalam satu majlis persidangan yang dihadiri oleh para penguasa dan para ulama ahli fiqih di hadapan wakil sulthon. Maka Ibnu Taimiyyah ditanya tentang aqidahnya, lalu ia mengutarakan sedikit dari aqidahnya. Kemudian dihadirkan kitab aqidahnya Al-Wasithiyyah dan dibacakan dalam persidangan, maka terjadilah pembahasan yang banyak dan masih ada sisa pembahasan yang ditunda untuk sidang berikutnya.
Dan di tahun 707 hari ke-6 bulan Rabi’ul Awwal hari kamis, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya, namun setelah itu ia pun masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya hingga akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan wafat di penjara sebagaimana nanti akan diutarakan ucapan dari para ulama.
Berikut ini pernyataan Ibnu taimiyyah tentang pertaubatannya :

الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.
(كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة.


”Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt “ الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama’ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama’ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah I ni adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku gtulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan “

Telah menulisnya : (Ahmad Ibnu Taymiyyah)
Kamis, 6-Rabiul Awwal-707 H.
Di atas surat pernyaan itu telah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim, Badruddin bin jama’ah.

Pernyataan ini telah disaksikan, diakui dan ditanda tangani oleh :
- Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi’i, beliau menyatakan :
اعترف عندي بكل ما كتبه بخطه في التاريخ المذكور
(Aku mengakui segala apa yang telah dinyatakan oleh Ibnu Taymiyyah ditanggal tersebut)

- Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali :
اعترف بكل ما كتب بخطه
(Aku mengakui apa yang telah dinyatakannya)

- Ahmad bin Rif’ah

- Abdul Aziz An-Namrowi :
أقر بذلك (Aku mengakuinya)

- Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi’I :
أقر بذلك كله بتاريخه (Aku mengakui itu dengan tanggalnya)

- Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini :
جرى ذلك بحضوري في تاريخه (Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya)

- Abdullah bin jama’ah (Aku mengakuinya)

- Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi :
أقز بذلك وكتبه بحضوري (Aku mengakuinya dan menulisnya dihadapanku)

Mereka semua adalah para ulama besar di masa itu salah satunya adalah syaikh Ibnu Rif’ah yang telah mengarang kitab Al-Matlabu Al-’Aali ” syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali sebanyak 40 jilid.

Ibnu Taymiyyah Kembali Menyimpang


Namun faktanya Ibnu Taymiyah tidak lama melanggar perjanjian tersebut dan kembali lagi dengan ajaran-ajaran menyimpangnya. Sampai-sampai dikatakan oleh seorang ulama :

لكن لم تمض مدة على ذلك حتى نقض ابن تيمية عهوده ومواثيقه كما هو عادة أئمة الضلال ورجع إلى عادته القديمة في الإضلال. ”


Akan tetapi tidak lama setelah itu Ibnu Taimiyyah melanggar perjanjian dan pernyataannya itu sebegaimana kebiasaan para imam sesat dan ia kembali pada kebiasaan lamanya di dalam menyesatkan umat “

Sidang kedua :

Diadakan hari jum’ah hari ke-12 dari bulan Rajab. Ikut hadir saat itu seorang ulama besar Shofiyuddin Al-Hindiy. Maka mulailah pembahasan, mereka mewakilkan kepada syaikh Kamaluddin Az-Zamalkani dan akhirnya beliau memenangkan diskusi itu, beliau telah membungkam habis Ibnu Taimiyyah dalam persidangan tersebut. Ibnu Taimiyyah merasa khawatir atas dirinya, maka ia memberi kesaksian pada orang-orang yang hadir bahwa ia mengaku bermadzhab Syafi’i dan beraqidah dengan aqidah imam Syafi’i. Maka orang-orang ridho dengannya dan mereka pun pulang.

Sidang ketiga :


Sebelumnya Ibnu Taimiyyah mengaku bermadzhab Syafi’I, namun pada kenyataannya ia masih membuat ulah dengan fatwa-fatwa yang aneh-aneh sehingga banyak mempengaruhi orang lain. Maka pada akhir bulan Rajab, para ulama ahli fiqih dan para qodhi berkumpul di satu persidangan yang dihadiri wakil shulthon saat itu. Maka mereka semua saling membahas tentang permasalahan aqidah dan berjalanlah persidangan sbgaiamana persidangan yang pertama.

Setelah beberapa hari datanglah surat dari sulthon untuk berangkat bersama seorang utusan dari Mesir dengan permintaan ketua qodhi Najmuddin. Di antara isi surat tersebut berbunyi ” Kalian mengetahui apa yang terjadi di tahun 98 tentang aqidah Ibnu Taimiyyah “. Maka mereka bertanya kepada orang-orang tentang apa yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah. Maka orang-orang mendatangkan aqidah Ibnu Taimiyyah kepada qodhi Jalaluddin Al-Quzwaini yang pernah dihadapkan kepada ketua qodhi imamuddin. Maka mereka membincangkan masalah ini kepada Raja supaya mengirim surat untuk masalah ini dan raja pun mnyetujuinya.

Kemudian setelah itu Raja memerintahkan syamsuddin Muhammad Al-Muhamadar Ibnuuntuk mendatangi Ibnu Taimiyyah dan ia pun berkata kepada Ibnu Taimiyyah ”Raja telah memerintahkanmu untuk pergi esok hari. Maka Ibnu Taimiyyah berangkat ditemani oleh dua Abdullah dan Abdurrahman serta beberapa jama’ahnya.

Sidang keempat :


Maka pada hari ketujuh bulan Syawwal sampailah Ibnu Taymiyyah ke Mesir dan diadakan satu persidangan berikutnya di benteng Kairo di hadapan para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab. Kemudian syaikh Syamsuddin bin Adnan Asy-Syafi’I berbicara dan menyebutkan tentang beberapa fasal dari aqidah Ibnu Taimiyyah. Maka Ibnu Taimiyyah memulai pembicaraan dengan pujian kepada Allah Swt dan berbicara dengan pembicaraan yang mengarah pada nasehat bukan pengklarifikasian. Maka dijawa ” Wahai syaikh, apa yang kau bicarakan kami telah mengetahuinya dan kami tidak ada hajat atas nasehatmu, kami telah menampilkan pertanyaan padamu maka jawablah ! “. Ibnu Taimiyah hendak mengulangi pujian kepada Allah, tapi para ulama menyetopnya dan berkata ” Jawablah wahai syaikh “. Maka Ibnu Taimiyyah terdiam “.

Dan para ulama mengulangi pertanyaan berulang-ulang kali tapi Ibnu Taimiyyah selalu berbeli-belit dalam berbicara. Maka seorang qodhi yang bermadzhab Maliki memerintahkannya untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah di satu ruangan yang ada di benteng tersebut bersama dua saudaranya yang ikut bersamanya itu.

Begitu lamanya ia menetap di penjara dalam benteng tersebut hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal 22, Dzulqo’dah tahun 728 H.

Sejarah ini telah ditulis oleh para ulama di dalam banyak literaul kitab yang mu’tabar di antaranya kitab Ad-Duraru Al-Kaminah karya Ibnu Hajar, kitab Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab karya As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah dan yang lainnya.

Demikianlah sejarah singkat Ibnu Taymiyah seorag figur inspirator munculnya ajaran wahhabi dan seorang ulama andalan yang dijadikan rujukan oleh para ulama wahhabi.

Semoga hal ini menjadi renungan bagi para pengikut wahhabi… sebab ini semua adalah fakta sejarah.......